Marathon 22 – Amanda

== Bab 6 ==

 

Lina dan teman-teman sekarang sedang dalam perjalanan menuju tempat wisata kedua pada hari ini. Kak Yani bilang, tempat kali ini bisa dibilang unik. Lina jadi tak sabar untuk sampai kesana. Akan tetapi, ternyata tempat wisata itu baru akan buka pada pukul 3 sore hari. Sekarang masih jam 11 lewat, masih lama sampai tempat itu buka.

Untuk mengisi kekosongan waktu, mereka makan siang terlebih dahulu, lagipula sudah waktunya makan siang. Mereka turun dari mobil dan pergi melihat-lihat restoran di dekat Tokyo Tower. Ada banyak sekali pilihan, mereka jadi bingung memilihnya. Setelah beberapa waktu berkeliling, mereka bertengkar karena berbeda pilihan.

Lina dan Willy ingin makan di sebuah restoran bernama Tango Restaurant, selain dekat, menunya juga kelihatan enak. Tapi, Teru ingin makan Sushi, dan Rie ingin makan Takoyaki. Mereka jadi berselisih, Kak Yani jadi bingung mau pilih yang mana. Mereka saling berteriak satu sama lain.

“Lebih baik ini!”
“Ini lebih enak tahu!”
“Enggak!! Yang ini yang lebih enak!!!”
“UDAAAAH JANGAN BERANTEM, KALIAN HOMPIMPAH AJA DEH!!” ucap Kak Yani melerai mereka.

“Eh? Bener juga sih … AYO KITA SUIT!” ucap Lina dengan nada menantang.
“Ooh … Ayo! Aku sih suit biasanya menang!” jawab Teru dengan semangat.
“Uh, aku payah lagi dalam suit,” gumam Rie pelan.
“HOM PIM PAH!!” teriak mereka bersamaan.

“YEEE KITA MENAAANG!” teriak Lina dan Willy gembira-ria sambil menari-nari kecil.
“Uhh … Padahal sushi kan lebih enak,” gumam Teru dengan kesal. Karena Lina dan Willy menang, mereka akan pergi makan ke Tango Restaurant. Mereka menyebrang dari Tokyo Tower ke restoran di seberangnya.

Tango Restaurant
(Tampak depan Tango Restaurant)

Lina, dkk masuk ke dalam restoran itu. Restoran itu isinya bisa dibilang keren, cocok untuk orang-orang yang suka selfie dan mem-post-nya di IG mereka. Mereka duduk di salah satu meja di dekat jendela, pelayan datang dan memberikan menu pada mereka. Kak Yani sudah memberikan izin untuk bebas memesan terserah mau mereka.

Inside Tango Restaurant
(Didalam Tango Restaurant)

Tapi, ternyata dengan syarat, yang bebas hanyalah yang termasuk kategori “makanan berat” dan hanya memesan satu minuman. Sisanya, seperti snack, desert, Kak Yani bilang harus ditanggung sendiri. Rie sebenarnya sempat protes, bertanya “kok bisa seperti itu?”.

Kak Yani menjawab dengan santai, dia bilang mereka kan sudah mendapatkan hadiah tambahan uang saku selama di Jepang sebesar 1 juta. Jadi, uang itu seharusnya dipakai ketika mereka sedang di Jepang. Kak Yani yang jadi pemandu cuma bertugas mengantar, menunjukkan, menyarankan, dan memastikan perjalanan berjalan lancar.

Rie agak sebal, tapi sayangnya yang dibilang Kak Yani itu benar, jadi … mau bagaimana pun sudah seperti itu peraturannya. Yah, dia cuma bisa mengikuti. Mereka pun memesan makanan dan minuman. Mereka menunggu tak lama, pelayanannya bisa dibilang cepat meskipun tak sangat cepat.

Mereka makan dengan lahap makanan yang sudah datang. Tapi … ada sesuatu terjadi … pada saat mereka selesai makan dan perut kenyang sudah dipenuhi makanan. Lina tadi sempat pesan desert, memang murah tapi …
“KOK DOMPETKU NGGA ADA??!!” jerit Lina kebingungan dan ketakutan.

Pertama kali Lina pikirkan adalah dicuri. Tapi, kalau ternyata dompetnya itu dicuri, harusnya HP yang Lina disimpan di dalam tas itu ikut dicuri. Dan nyatanya HP itu masih tersimpan rapi di dalam tas. Karena itu Lina merasa kalau dompet itu hilang karena kecerobohannya bukan karena dicuri.

Panik, Lina membongkar seluruh tasnya demi mencari dompet itu. Tapi, nihil, dompet itu benar-benar hilang. Lina amat-sangat panik, dia kebingungan bagaimana bisa dia membayar desert yang dipesannya kalau dompet itu hilang. Rie melihat kepanikan Lina dan bilang, “Sudah, sini aku yang bayarin,”.

“Ehh?? Tapii–!” Lina hendak menolah tapi Rie menyelaknya.
“Gapapa, nanti saat kita sampai hotel kamu ganti ya?” ucap Rie lalu menjulurkan lidah.
Lah … kirain ditraktir beneran …” ucap Lina dalam hati. “Ok deh kalau gitu, maaf, tolong ya!” mohon Lina sambil memasang pose minta maaf.

Akhirnya Rie membayar desert yang dimakan Lina, karena Lina tidak bisa membayarnya disebabkan oleh dompetnya yang hilang. Lina sedih, sebagian besar uangnya dia taruh di dompetnya itu, dia sebal dan sedih karena bisa-bisanya dia ceroboh seperti itu.

Untungnya, Lina masih punya sedikit uang yang disimpannya di dalam kopernya di hotel. Tidak banyak, tapi cukup untuk membeli sedikit sovenir murah untuk Ayah, Ibu, dan adik-adiknya. Setelah selesai membayar, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya.

Perjalanan tak memakan waktu lama, jalanan lancar dan ternyata tempat yang dituju itu dekat dengan Tokyo Tower. Mereka hanya menghabiskan 10 menit untuk sampai ke sana. Mereka berhenti di di sebuah Mall besar bernama Carreta Shidome Mall. Di dalam tempat itu tampak biasa saja seperti Mall biasa.

Akan tetapi, mereka dibuat takjub ketika sampai ke bagian tengah Mall tersebut. Ternyata yang dibilang Kak Yani itu tidak bohong, tempat mereka ini benar-benar keren dan luar biasa. Ternyata itu adalah iluminasi musim dingin dengan lagu beberapa film bertema salju yang terkenal.

Iluminasi Musim Dingin di Carreta Shidome

Lina langsung buru-buru mengeluarkan HP-nya dari tas. Dia merekam iluminasi menakjubkan itu. Sejauh ini, lagu yang diputar adalah lagu dari film Frozen dan juga Tangled. Lina kurang tahu tentang Tangled, tapi dia tahu betul lagu “Let it go”-nya Frozen. Lina sering menonton berulang-ulang film itu ketika dia masih umur 9 tahun.

Pertunjukan berlangsung selama 15 menit. 7 setengah untuk Frozen, dan 7 setengah untuk Tangled. Setelah selesai, Kak Yani menawarkan mereka untuk belanja di dalam mall. Tapi, mereka menolak dan bilang lebih baik langsung ke tempat selanjutnya saja. Kak Yani mengangguk, lalu dia berkata, “Oh iya, tempat selanjutnya festival loh,”.

Lina senang, dia jarang sekali ke festival di Indonesia. Dan sekarang dia dapat kesempatan untuk pergi ke festival di negara lain! Tentu saja dia semangat sekali.
Waktu menunjukkan jam 5 sore, sudah hampir 4 jam mereka habiskan. Perjalanan mereka hari itu rupanya sudah selesai, besok mereka akan ke kota lain naik kereta.

Semuanya senang, mereka sudah cukup capek berkeliling-liling. Sesampainya di hotel, Kak Yani memperingati agar membereskan barang-barang karena besok paginya mereka akan langsung check out. Mereka semua mengangguk-angguk mengerti, lalu kembali ke kamar.

Di kamar mereka membereskan barang-barang, dan yang belum ngantuk, menonton TV atau ngobrol dulu sampai pukul 9-an. Pada jam sembilan, Kak Yani datang ke kamar Lina dan Rie (mereka semua sedang kumpul di sana nonton film) membawakan sedikit makanan. Tepat pukul setengah 10 mereka semua mulai mengantuk dan tidur …

Paginya, semuanya sarapan dulu, membawa barang ke lobby, dan akhirnya check out!
“Festival, here I come!” ucap Lina dalam hati.

== 00 == 00 ==

Marathon 22 – Tiara

Chapter 30: Firework Shopping and Telling Arthur

Marjorie

                “Mar wake up!”

I jolt awake as someone shakes me by my shoulder. I look around and found Peter shaking me, his face decorated by a huge smile. I groan as I realise what that means.

“What have you been up to?” I ask him as I start to sit up. I look around and realise that we’re the only ones awake. I look at Cycil and Arthur sleeping in one corner and Francis beside me snoring. I never see them so lifeless before.

“Weird right?” Peter says as he sits cross legged in front of me. I nod as I follow along.

“What is it?” I ask him as I comb my hair back, Peter grins before he pulls out a few dollar bills.

“I got a plan” he says. He hides the money before leaning to my ears, whispering. “But you have to say yes first because I think we’ll be in trouble for this.” I look at him uncertainly before nodding.

“Let’s buy fireworks” he says as he grins widely. I look at him oddly before nodding along. Not the most insane plan he has had.

“Okay… but why?”

“Cycil likes fireworks right? Let’s buy some, that’ll make him feel better” Peter says as he bounce around. I look at him oddly before I look to Arthur and Cycil.

“You have to have an ID to buy fireworks, don’t you know that?” I ask him. He tilts his head to Arthur and smirks. I look over at Arthur and starts thinking.

It’s hard to get Arthur to do what we want, the only one that can persuade Arthur under 30 minutes is Cycil and if this is a surprise for Cycil we can’t tell him or wake him.

‘He is also asleep, we won’t get anywhere if he is asleep or half awake’ I thought. I sigh as I look at Peter.

“Forget it, we can’t buy fireworks we’re only 8” I tell him as I dive back into bed to fall asleep. Peter grabs my hand before I can hit the mattress, yanking me up.

“Peter…” I whine.

“No we’re doing this for Cycil. You shot him” he says, I winch at the reminder and look beside us. I did shoot him and my chest tightens just by thinking about it. I look at Peter and nod, if it would stop him from bringing it up again I’ll help him.

“Good, now let’s wake up Arthur. Be careful, Cycil hasn’t been sleeping right and he might wake up any minute” he tells me as he slowly crawls over to Arthur.

‘This is useless’ I thought as I follow, careful to not touch Cycil’s legs or skin.

Once we’re beside Arthur Peter starts to shake Arthur’s shoulder roughly, causing Arthur to groan and twist around.

“Arthur we need you” Peter tells him. I watch blankly, there is no way Arthur is going to wake up just because we tell him we need him. Arthur pushes Peter away, I watch as Peter lands on Cycil back. I stiffen and dives down to act like I’m sleeping beside Arthur.

“Ow, Peter” I can hear Cycil whines. I can hear him shift, the bed dips and I feel Peter sit near my stomach.

“What’s wrong?” Cycil asks, I can hear him yawning. The bed dips again. I can feel Cycil moving around.

“I’m trying to wake up Arthur, I want him to see something” Peter says.

“I’ll go and-“

“Your legs are hurt. I would rather have Arthur” Peter cuts Cycil off. I can hear muffled yawning before a hand reach above and over me to Arthur.

“Artty wake up, Peter wants to show you something” Cycil says as I feel Arthur’s body shake a little.

“What is it?”

“Go with Peter somewhere” Cycil says as I feel him withdraw his arm. Arthur groans loudly before he sits up. Peter crawls out, followed by Arthur.

I wait a few minute to make sure Cycil is asleep before joining Peter and Arthur near the front of the van.

“You want to do what now?” Arthur asks as he sits down on the couch. Peter tells him his plan, go to the nearest fireworks shop, buy a few then leave. Arthur rubs his temple as he looks at us with tired eyes.

“Why?” he asks. I nudge Peter, wondering the same thing.

“Cycil’s hurt and I think he needs cheering up. He likes Fireworks right?” Peter asks as he sits beside Arthur. Arthur groans as he starts thinking.

“Oh why not?” he says as he stands up and walks up to the driver’s seat. I look at him confused before turning to Peter. Did we actually just persuaded Arthur Rain into doing something?

Peter smirks and high fives me, we never managed to do that before.

“I’m doing this just because Cycil likes fireworks alright? That boy needs to relax anyways” Arthur says as he starts the engine.

“Where are we going?” Francis asks fearfully, jolting up right and stumbling out the bed. Cycil groans as he starts to sit up. Arthur shoves Francis away as Francis pokes his head in and stare out the window.

“Where are we going?” Cycil asks as he crawls out the bed and limps up to the driver’s seat. He looks at us two suspiciously before he tries to climb into the passenger seat.

“Oh no. You two go back to sleep, Peter just wants to show me one of the parks he found scrolling through the internet” Arthur covers up. Cycil hums as he decides to continue and head back into bed.

When Cycil lays down to sleep I crawl into bed beside him and shake him awake.

“I haven’t even slept Mar. What is it?” he asks as he opens his eyes and looks at me, I lay down beside him and move around a little, making myself comfortable. Cycil turns his body to the side to look at me where I lay.

“Do you hate the person that shot you?” I ask him seriously. He covers his mouth and starts to laugh silently. I frown at his muffled his laughing, confused as to why he isn’t as serious as I am.

“Why are you asking me this?” Cycil looks at me amuse as he ask that. I bite my bottom lip, scared. If he hates the one that shot him then he hates me, if he doesn’t then I have a chance of fixing this.

“I’ll answer you anyways. No, I don’t hate them. To be honest I have no reason to hate them. They don’t know I’m hypersensitive it was my choice to play, so really the blames on me.

“I’m the one that didn’t sit out, I was stubborn enough to ignore my rational thought that it would hurt like all hell if I were to be hit in any part of my body close distance. To be honest I think Arthur is annoyed by me, he scolded after I shrieked” he tells me, whispering the last part. I laugh when Cycil whispered, Cycil always whisper things that he doesn’t want others to know, even if there is no one there. I giggle before asking another question

“What if they know you’re hypersensitive? They know that if they hit you close enough at the right spot your hypersensitivity will be triggered?” I ask him.

Cycil laughs before looking at me in the eyes, happily watching me.

“Then I still wouldn’t be mad, to be honest I was triggered, well I was overstimulating a bit after you left but other than that no more triggers. I wouldn’t even say trigger, I’d say a fun game took a turn into pain town” he tells me. I nod as I smile at him, so he doesn’t hate me. That’s good.

I look to the front, into the road as Peter and Arthur bickers about where to go.

“Say Cycil…” I stop slowly as I look at Cycil’s sleeping face, looking peaceful. I shrug as I crawl out the bed and to the front of the van. I wake Francis up by hitting him on the leg before crawling into the passenger’s seat.

“Where are we going?” I ask them, Peter shrugs as he fiddles with Arthur’s phone.

“Either way you’re driving there so all I need to do is sit down” I tell them. Peter sticks out his tongue before he goes back in.

“Did you do something?” Arthur asks as he drives.

I shrug as I look out the window.

“I did something stupid” I tell him.

Arthur hums as he turn the corner, into another street.

. . . . . . . . .

        “This should be enough” Arthur says as we exit the firework shop. I look back and nod. We bought a lot of firework, mostly the ones where you hold onto their end as the sparks near the end.

Peter runs to the van fist as me and Arthur walk slowly behind him. I look over at Arthur before biting my bottom lip.

“Arthur do you hate the one that shot Cycil?” I ask him. Arthur shrugs as he looks at me blankly, that is not an answers.

“I don’t hate them. They’re only playing a game, they didn’t know Cycil is hypersensitive so I have no right to hate them” Arthur says as we near the van. I fidget before looking at Arthur and deciding that, if Cycil doesn’t hate me then Arthur has no right to hate me either.

“What if they know Cycil is hypersensitive?” I ask him. Arthur shrugs as he opens the van door. He sits on the edge, with his legs out.

“I don’t really know. Either way I won’t actually hate them. Sure I wouldn’t like them, just the kind of hate that goes you’ve-hurt-my-friend kind of hate, not a I-hope-you-go-to-Hell kind of hate” Arthur tells me.

I nod as I sit beside him. I look to the firework building and swallow my fear, I turn to him before asking.

“What if it was Mephisto? He is close friend right?” I ask him. I’m too scared for this, I need more time.

“I would 100% beat the ever living Hell out of him” he tells me. I nod as I look around awkwardly. I start bouncing my leg and fiddling with my hand, I want to tell him but I’m scared.

I take a deep breath and look inside.

Francis is asleep and Cycil is too.

‘They must be really tired’ I thought.

“Hey Arthur” I call him. Arthur looks at me, questioningly.

“I was the one that shot Cycil.”

“Huh. Oh I know.”

“…What?”

marathon-22 Farih

Bagian Paling Menyenangkan dari Membuat Makanan Tradisional

Saya Ibu dari Farih mengamati bahwa bagian terfavorit Farih dalam membuat jajanan atau minuman tradisonal awalnya adalah saat dia mengaduk bahan, memarut kelapa, memetik daun suji atau membungkus makanan, dan menyajikan.

Tapi saya tidak sepenuhnya benar, Farih memang hampir selalu antusias dalam pekerjaan yang berhubungan dengan dapur. Namun ada hal baru yang saya temukan dalam pengerjaan proyek journaling memasak ini. Setelah 16 resep yang dicoba. berhasil dan gagal. Bahwa bagian paling ditunggu dan membuat Farih berbinar-binar adalah ketika ia membagikan makanan atau minuman pada sahabatnya, tetangganya juga ayahnya yang baru pulang dari kantor.

Dia sendiri yang harus menyerahkan makanannya, dia tidak begitu peduli dengan hasilnya yang tidak sesuai ekspektasi. Yang penting berbagi.

Baiklah, saya kali ini berguru pada Farih. Lewat kebahagiannya dalam berbagi.

ini bukanlagi hanya tentang belajar budaya, geografi, biologi, atau yang lain melainkan akhlak yang mulia, dan pandangan yang positif pada dunia.

terima kasih, Farih

marathon-22 Aqil

Perjalanan di usiaku  yang 10 tahun tak kusangka akan menyusuri kerajaan Islam pertama di Jawa. Dari Samudra Pasai ke Kerajaan Demak.

Sekitar empat jam kemudian ,kami sampai di tujuan kami. Di masjid Agung Demak, ini adalah salah satu  bangunan peninggalan kerajaan Islam Demak di dekat pantai utara Jawa. Ini adalah kerajaan Islam pertama di Jawa.

Kami memasuki masjid yang besar ini, setelah sebelumnya berwudhu. Segar. Aku duduk dan mencari sandaran. Tapi ayah melarangku bersandar.

“Kerajaan Demak dulu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Ia meninggal dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan dan digantikan oleh Sunan Prawoto. Namun penunjukkannya sebagai sunan tidak berjalan mulus karena ditentang oleh adik Trenggana, yaitu pangeran Sekar Seda Lepen. Akhirnya dia terbunuh karena ditumpas.Namun pada tahun 1561, sunan Prawoto dan keluarganya dihabisi oleh orang suruhan Arya Panangsang, anak dari Sekar Seda Lepen, ” terang ayah sambil menunjukkan tiang-tiang masjid yang terbuat dari kayu tua berukir khas.

Aku belum mengerti urutan cerita ayah. Tapi yang membuatku tertarik adalah pantai utara Jawa menjadi pintu masuk agama Islam di Jawa. Bagaimana bisa orang dari Hadramaut juga Gujarat berlayar berbulan-bulan menempuh perjalanan untuk berdagang juga berdakwah?

kami istirahat, dan tak sengaja bertemu dengan teman lama ayah saat kecil.Kemudian mereka bersalaman.”Mau istirahat  di rumah saya? kebetulan saya juga lagi mau pulang.Nanti sore ada acara syukuran khitanan anak saya, dia menawari kami istirahat dirumahnya dan mengabarkan pada kami kalau anaknya akan khitan.

”Wah makasih ,Pak,” balas ayah sambil tersenyum. Kami beriringan berjalan kerumah yang dimaksud.

15 menit kemudian kami sampai di depan bangunan bercat kuning dan putih. Pintu masuknya dibagian samping rumah. “Assalamualaikum,“ kata kami bertiga bersamaan dengan munculnya perempuan setengah baya. Sepertinya itu adalah istrinya teman ayah.

”Waalaikum Salam,” kata perempuan tadi.

 Jam dua siang orang orang mulai berdatangan kerumah ini.” Rupanya mereka bersiap untuk acara syukuran khitanan nanti.”bisikku pada ayah sambil melihat mereka.

Pukul tiga sore ,suasana mulai ramai dan gaduh. Namun detik detik anak teman ayah akan dikhitan, dia menghilang karena takut pada jarum suntikan katanya.

Akhirnya acara sedikit kacau karena semua orang mencari anak itu,termasuk aku. Aku dan ayah ikut mencarinya. Karena aku tidak tahu daerah ini, aku mencari dengan kakak anak itu. Namanya Dio.

Kami mencari di kebun bambu, aku dan Dio menemukannya sedang  jongkok di tempat paling tersembunyi.

“Hai aku Aqil. Aku diundang ayahmu untuk syukuran khitananmu”

“Ayo Dek, pulang,” bujuk Dio.

“Kamu kok takut dikhitan? Jangan takut, sakitnya cuma sebentar kok. Khitan itu penting agar kelamin tetap bersih. Dan kalau dibiarkan, kuman-kuman akan berkumpul diujungnya dan bisa bisa terjadi infeksi,” kataku meyakinkan anak itu. Namun dia tidak menjawab, malah menggelengkan kepalanya dan menunjukkan wajah takut. Dia diam disana sampai Dio menarik tangannya pelan.

Sesampainya dirumah, dia meronta ronta minta dilepaskan, Apalagi ketika melihat dokter sudah di kamarnya. Namun aku meyakinkannya dengan tatapanku,akhirnya dia yakin meski dia masih sedikit takut.Aku yakin dia berani ,dalam hati aku bertanya apakah dia akan menangis sehabis khitan?.

Pertanyaanku terjawab ketika selesai khitan dia keluar dan tersenyum.Aku dan Dio mendekatinya.”Bagaimana?Sakit tidak?Tadi kamu nangis?.”aku melemparkan beberapa pertanyaan pada anak yang  tadi khitan.”sedikit! Terima kasih ya,sudah membuatku berani.Oya!nama saya Odi, kalau kamu siapa?.”tanya nya sambil memegang sarung berwarna hitam dan bergaris coklat.”Nama saya Aqil.”.Mengenai teman baru, rasanya jadi ingat Afra.

Marathon 22-Fatya

Episode 22

Red Sea

“Kejar aku!! Kejar aku!!”

Nada berlari-lari di tepian pantai, menjejak pasir putih yang lembut. Faqih di belakangnya mengejarnya, berlari-larian.

“Oi! Ombak!!” Faqih berseru, tertawa-tawa, dari sebelah kanan mereka muncul ombak kecil yang bergulung. Nada tertawa-tawa, mereka berdua berusaha menghindar. Terlambat, keduanya terlanjur terkena air, basah kuyup dibasuh ombak.

Ombak? Pantai?

Yap! Pilihan Fatya dan Amanda untuk ujian kali ini adalah : Red Sea alias Laut Merah. Laut yang paling bersejarah. Inilah jejak sejarah Nabi Musa yang kedua, Laut Merah. Fatya hendak ke sini karena Profesor Sari memberikan tema ujian : Sejarah. Hmm, hitung-hitung bisa sekalian membahas sejarah Nabi Musa, kan?

“Lucu sekali adik-adikmu, Aya, Jaihan,” ucap Cantika sambil berselonjor meluruskan kaki. Mata toskanya memancarkan paras sumringah.

“Ya, begitulah …” ucap Fatya tersenyum sambil menyeka dahi. Keringatnya menetes. “Sudah biasa. Bearbot, kamu mau ikut kejar-kejaran?”

Fatya beralih kepada Bearbot yang malah asyik membaca di sebelahnya. Bearbot menoleh, menatapnya sejenak, “Ada-ada saja. Mana mungkin aku mau terkena air. Kamu mau aku sakit?”

Fatya, Cantika, Keni, Jaihan dan Amanda tertawa bersama. “Tentu tidak, Bear. Siapa tahu kamu pengin main sama mereka. Aku hanya ‘menawarkan’.” Lanjut Fatya tertawa tipis.

Bearbot mendengus sebal, lalu kembali pada bukunya.

Sejenak, suasana lengang. Hanya debur ombak dan teriakan Faqih serta Nada yang riuh mengisi senyapnya udara. Burung-burung tampak beterbangan melintas. Suasana ini menyenangkan.

“Omong-omong, kenapa kamu mengajak tim kita ke sini?” tanya Aila sambil mengunyah snack-nya. Dia menatap lurus ke depan, tapi pertanyaannya jelas menuju kepada Fatya dan Amanda. Kedua anak itu bersitatap, lalu tersenyum bersamaan.

“Kali ini ujian kita bertema ‘Sejarah’, jadi aku memilih ini supaya kita bisa sekalian mengetahui sejarah Nabi Musa dan Fir’aun.” Amanda nyengir.

“Iya, sekalian melanjutkan cerita di Sungai Nil kemarin …” ucap Fatya menyambung.

“Oh,” semua anak manggut-manggut paham.

“Setidaknya ini pilihan tepat. Jangan sampai kita kalah dari Tim Kusara.” Keni berucap tegas. “Kalau tidak lulus, itu memalukan sekali.”

Fatya dan Amanda saling berkedip. Tentu saja ini pilihan tepat. Bahkan, setelah dari pantai ini, mereka akan ke sebuah tempat yang lebih menakjubkan!

“Kalian tahu nggak …” ucap Fatya perlahan. Semua anak yang awalnya sibuk dengan kegiatan masing-masing jadi menoleh. “Dahulu, laut merah ini pernah terbelah, loh! Saat terbelah, dua lautannya membentuk dua gunung yang berhadapan dan di tengahnya terdapat jalan. Masyaallah, menakjubkan sekali, bukan?”

Kalimat pertama Fatya langsung membuat antusias teman-temannya terpicu. Mereka menatap Fatya penuh rasa ingin tahu. Mata mereka penuh dengan rasa antusiasme yang meluap.

“Terbelah? Bagaimana ceritanya??”

Marathon 20 – Cantika

Tema: Panenan Yang Gagal

Abad ke-20, pedalaman Inggris.

Keadaan kacau balau. Akibat badai salju semalam, pohon-pohon tumpang, ada beberapa rumah yang atap dan isinya rusak, dan ada juga yang rumahnya tertutupi salju. Tak terkecuali rumah mungil yang terpencil di pedalaman hutan Inggris, yang ditinggali sebuah keluarga dengan tiga anak perempuan.

Pintu dibuka dengan paksa, membuat salju berhamburan ke tanah. Seorang pria gagah keluar, membawa kapak. Tak berselang lama, seruan terkejut menyusul. “Astaga!”

“Ada apa, Kent?” Seorang wanita paruh baya tampak di tiang pintu, dia sedang menggendong bayi.

Pria yang bernama Kent itu ragu-ragu, wajahnya cemas. Meski belum mengatakan apa pun dan hanya diberi punggung, tapi namanya istri, pasti hafal betul dengan tingkah suaminya, terlebih lagi yang sudah bersama sejak bertahun-tahun. Dora tahu ada hal tak beres terjadi. Dia berbalik mengambil mantel, dan menutupi kepala mereka dengan itu, lalu keluar.

“Ada ap-, ya tuhan!”

Pria berambut kecoklatan itu mengangguk. “Panenan kita, panenan musim dingin kita gagal Ma.” 

Tidak ada jawaban, hening. 

“Apakah ini berarti,” wanita itu membuka suara, nadanya cemas. “persedian makanan sampai musim dingin usai tidak cukup?” Suaminya mengangguk lesu lagi.

Dug! Wanita itu terduduk, gaun coklat tua dengan renda ungu semata kaki itu mekar kesana kemari, membuat noda sedikit di hamparan salju. “Apa yang harus kita lakukan Kent?” Didekapnya bayi perempuan ke dada. “Kita mau kasih makan Seth, Hana, Maggie apa?”

Pria yang ditanya itu menjongkok, membuat tinggi dia dan sang istri sejajar, kemudian membelai kepala sang istri. “Jangan terlalu khawatir Dora, kita pasti bisa memenuhi kebutuhan kita.”

“Lantas, bagaimana caranya?”

“Tidak tahu.” Kent berdiri, lalu memunguti sayur-sayuran yang masih agak utuh. “Kita punguti saja dulu sayur-sayuran ini. Dengan ini dan simpanan panenan musim gugur, kita bisa bertahan paling tidak awal Januari.”

“Lalu setelahnya?”

“Kita bisa gunakan tabungan.”

“Tapi tabungan itu untuk perlengkapan sekolah Seth dan Hana tahun depan, Kent!” Protes wanita muda itu lagi.

“Sudahlah Dora, jangan khawatir.” Kent mengubah pandangannya pada si putri bungsu. “Pasti ada jalan keluar. Bawa masuk Maggie, dia kedinginan.”

Dora terdiam, lalu mengangguk.

Matahari kini sudah berada di atas kepala, memberitahu bahwa sudah pukul 12.00 siang. Hawa dingin sudah lebih stabil sekarang, lumayan membantu untuk mempercepat pekerjaan. Tangan Dora sudah membeku. Seperti kata Kent tadi, sayur-sayuran ini bisa bertahan hingga awal Januari. Itu bukan omongan belaka, karena rupanya jumlah sayur yang masih utuh ada banyak. 

Perut Dora berbunyi. Dikarenakan Kent pergi berburu, wanita berambut pirang ikal itu jadi harus mengumpulkan sayur-sayuran sendiri. Sangking sibuknya, Dora bahkan tak bisa memasak untuk makan siang keluarga. Untunglah, sup ayam semalam belum habis, sehingga tinggal dipanaskan. Dari jauh terdengar tawa bahagia dan lari-larian anak-anak.

“Jangan main jauh-jauh, Nak!”

“Baik, Ma!” Jawab para putri serentak. Tentu saja kecuali Maggie, dia masih bayi.

“Hana, kalau Mama temukan robekan pada gaunmu, kau tak boleh keluar dari rumah seharian, besok.” Kata Dora memperingati. Dia mengatakan itu, karena tampak putri tengahnya itu sedang memanjat pohon.

Hana mengeluh, lalu mengiyakan. Kalau di pikir-pikir Seth dan Hana punya kepribadian yang berbeda. Si sulung itu feminim, dia lebih menyukai menggunakan gaun dan bermain boneka, pembawaannya anggun. Sementara Hana suka dengan hal-hal berbau kecowokan seperti memanjat pohon dan berburu, dia suka sekali bila diberikan baju ayah sewaktu masih kecil, meski begitu Hana selalu menolak jika disebut cowok, dia bangga menjadi perempuan, bawaannya ceria. Kalau maggie … entahlah, sifatnya terjebak di antar kakak-kakak.

Dora termenung, dirinya mulai terpikir mengenai hidup di kota. Sebagai gadis kota tentu saja dia rindu dengan tempat asalnya tersebut. Dia ingin tinggal kembali ke kota. Tapi hati  ini langsung menolak, begitu teringat dengan Kent. Ayah dari putri-putrinya itu punya jiwa petualangan yang tinggi. Dia selalu berkata begini jika diminta tinggal di kota, “Hidup di hutan lebih baik daripada hidup di kota. Disini kita tenang, tidak berisik. Dan lagi kita bisa dengar suara alam secara langsung.”. Sepertinya Dora telah salah memilih suami.

Kenapa egois sekali? Paling tidak aku ingin putri-putriku merasakan setahun saja, menjadi gadis kota. Pikirnya.

“Mama!” Hana datang dengan terengah-engah. Perempuan berambut coklat ikal, yang di tubuhnya ada banyak tahi lalat itu menunjuk tempat mereka bermain tadi. Tapi kali ini ada orang lain selain saudara-saudaranya.

Butuh cukup waktu untuk mengetahui siapa tahu. Dengan ragu-ragu Dora bertanya, “Amy, kaukah itu?!”

Wanita yang disebut Amy itu semakin lama semakin dekat. Begitu sampai, dia langsung menumpukan sebelah tangan di bahu Hana. “Hai, Dora!” wajahnya merah padam.

Amy adalah sahabat Dora, mereka sudah berteman sejak balita. Mengenai rupa Amy kulit dia agak kecoklatan, punya mata coklat, tinggi menjulang, dan visualnya terbilang unik. Wanita yang memilih melajang itu bekerja sebagai seorang guru khusus perempuan di kota. 

“Jadi kau sudah kembali dari berlibur di rumah nenekmu?”

“Begitulah.” Jawab Amy tersenggal-senggal, masih berusaha mengatur nafas. Dia melihat sekitar, lalu menyeringai. “Sepertinya dugaan kami tak salah, panenan kalian pasti gagal!”

“Gak juga.” balas Dora santai, sembari menunjuk empat ember penuh berisi macam-macam sayuran. 

“Omong-omong kau datang dingin-dingin kesini dengan apa?”

“Oh, aku kesini dengan gerobak kuda.” Jawab Amy cepat. “Seseorang yang mengemudikannya untukku.”

Seseorang sebelumnya sibuk memunguti sayur dingin, kini menghentikan aktifitas. “Begitu. Oya, ayo masuk, tapi tidak ada makanan disini.”

“Jangan khawatir Dora, aku bukan datang untuk makan.”

“Lalu?”

“Orang tuamu, orang tuaku, dan nenek menitipkan makanan untukmu. Mereka khawatir setelah badai salju kemarin.”

Ibu rumah tangga keluarga Larson itu menengok ke bawah Amy, terdapat satu karung beras, dan makanan disitu. Itu banyak sekali! Mendadak dia teringat dengan perkataan Kent tadi pagi, tak di sangka secepat ini terjawabnya. “Wah, terima kasih!”

Amy mengangguk. “Hei, suamimu memang punya jiwa petualangan yang tinggi, ya? Dia bahkan membangun rumah di bukit, membuat orang yang berkunjung kesusahan saja.” Nah, ini dia, Amy si protes kelihatannya mulai aktif.

Dora tertawa canggung, digantinya topik pembicaraan dengan mengajak sahabat karib masuk ke rumah.

Malam semakin larut, Amy sudah pulang sejak sore tadi, makanan sepiring di meja juga mulai mendingin. Seorang ibu sedang duduk di dekat perapian, menikmati me time setelah menidurkan anak dengan membaca buku, menunggu sang suami pulang. Beberapa menit setelahnya pintu diketuk dari luar. Dengan langkah pelan, wanita bermata biru indah itu mengintip dari jendela, kemudian membuka pintu.

Begitu dibuka, seruan semangat bercampur bahagia menyapa. “Lihat ini Dora, aku berhasil memburu dua beruang gede hari ini!”

Awalnya si istri kaget, tapi langsung berubah menjadi senyuman. “Wah, selamat sayang!”

“Apa kubilang? Kita tak perlu khawatir. Tuhan membantu memenuhi makanan kita hingga akhir Januari nanti.” 

Dora masih tersenyum puas. “Tidak, makanan kita bisa bertahan hingga akhir musim dingin nanti.” Ujarnya bangga.

Lalu Dora menceritakan apa yang terjadi hari ini. Syukurlah, kini mereka tak perlu mengkhawatirkan makanan dan kebutuhan sekolah Seth dan Hana lagi. Asal mau yakin dan berusaha, semua pasti terkabulkan. 

#THEEND

Sprint 22 – Umar

‘Itu’

Hari-hari berjalan seperti biasa, aku mulai merasa ‘Orang sini’ setelah berjanji. Satu hal yang masih belum terjawab, BUKU AJAIB DI RUANGAN YANG AJAIB JUGA. “Buku apa sih itu?” tanyaku pada Liz teman bekerjaku hari ini, “Buku terlarang sebenarnya, dan penuh dengan KEKUATAN HITAM seperti dendam, sedih, marah, murka dan yang terakhir PEMBUNUHAN!” kata Liz. “Jadi itu semua hal itu ada di buku itu?” tanyaku lagi “Ya, disegel, kau tidak mau kan seluruh Dunia murka, dendam, marah, sedih kepadamu?” jawab Liz dengan penuh emosi “Tapi masih ada bukan yang sedih, marah, murka dan dendam?” tanya ku balik “Kita hanya mencegah dan mengurangi jumlahnya agar keajaiban itu tetap ada”.

Jam kerjaku selesai, jadi kuputuskan untuk berkeliling sebentar. Aku mengerti sekarang apa benda bulat di Main Hall, benda itu seperti jam dan menghitung berapa hari lagi akan ada pertemuan antar Tetua. Aku melewati ruangan BUKU AJAIB (TERLARANG) DI RUANGAN AJAIB (TERLARANG JUGA), hawanya gelap dan aku merasa semua hal yang aku tangisi, hal yang aku murkai timbul dan aku pingsan. “Kau tidak apa-apa?” sebuah suara terdengar, penglihatanku buram “Sepertinya begitu” jawabku sembari menggosok mata terlihat Liz dan salah satu pegawai di sampingku. “Aneh, kok bisa ‘itu’ menyerang kamu ya?” tanya Liz “Mungkin ‘itu’ tahu kalau Jack ‘baru’ dan masih ‘lemah” jawab yang lain “Bisa jadi, dan kamu Jack sudah mendingan? tadi kutemukan kamu terbaring di depan ruangan ‘itu’ kupikir kamu sudah pulang, beruntung aku melihatmu di situ”. Setelah pulih, aku segera pulang dan membersihkan diri.

Rasannya aneh, seperti aku sedang menggali kembali hal-hal yang aku simpan dan sesali, aku mengerti kenapa ‘itu’ begitu mengerikan.

Makan malam kali ini Mrs. Li memasak makanan yang membangkitkan tenaga, mungkin ia tahu tentang hal yang terjadi di perpustakaan tadi.