Episode 19
Bertempur di Lautan
Faqih dan Nada menghirup napas panjang. Memejamkan mata, menikmati aliran angin yang berhembus membasuh wajah mereka. Sesekali tersenyum senang sambil bergumam-gumam.
Fatya dan Jaihan yang duduk di samping mereka hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Keduanya asyik mengobrol berdua di tepi kapal Felucca yang tengah berlayar menembus hamparan biru Sungai Nil.
“Menyenangkan,” ucap Namira sambil meluruskan kaki, memejamkan mata sambil membiarkan angin membasuh wajah. Meniru kelakuan Faqih dan Nada. Ya, sensasi ini menyenangkan dan seru sekali.
“Bertempur sebelum berlayar …” Fatya menggoda Namira sambil berbisik di telinganya. Mengingatkan kata-kata Kapten Kairo sebelum mereka berlaga.
Namira nyengir, lalu melirik Kapten Kairo yang duduk bersama Profesor Sari, Profesor Andri, Pilot Salim dan Pilot Kendra. Mereka berlima tampak anggun di depan kapal. Duduk bersama sambil mengobrol, entah membicarakan apa. Sesekali Pilot Salim menyeletuk jail, memicu suasana penuh guyonan.
“Eh? Bukannya terbalik, ya? Seharusnya kan, berlayar sebelum bertempur?” kata Aila, menyeletuk. “Mau bertempur di pulau seberang, ya harus berlayar dulu. Masak kita bertempur dulu padahal belum nyampe di pulau seberang.” Lanjutnya dengan senyum lucu.
Semua anak perempuan tertawa mendengar celetuknya.
“Maksud Kapten Kairo, berlayar setelah bertempur adalah menyenangkan …” kata Fatya sambil menghirup napas, tersenyum menatap awan.
“Ataupun bertempur sambil berlayar?” Jaihan ikut menyeletuk. Kerudung pink kesayangannya berkelebat ditiup angin. Senyumnya tersungging, “Dahulu, pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, pasukan armada angkatan laut pun dimulai dengan dikomandoi oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Mereka menaklukkan Pulau Qubrush yang sekarang berganti nama menjadi ‘Cyprus’.”
“Kenapa Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengomandoi pasukan armada angkatan laut itu? Bukankah seharusnya Khalifah Utsman?” sahut Taqiyya penasaran.
“Karena Muawiyah bin Abu Sufyan yang memiliki ide membentuk pasukan armada angkatan laut.”
Semua anak menoleh. Aqil yang duduk di tepi kanan kapal menyeletuk pembicaraan mereka. Pemuda yang tenang itu tampak tersenyum, “Kalian belum tahu ceritanya?”
“Belum,” semua anak kompak menggeleng, kecuali Fatya, Faqih, Nada, Jaihan dan Keni. mereka kan, anak yang suka membaca buku. Bagi Fatya, membaca novel Tere Liye yang tebal pun hanya sebentar, dilalap dalam hitungan dua hari. Bagi lima anak itu, tiada hari tanpa membaca! Ya, harus membaca, membaca apa saja. Membaca kitab sejarah, membaca Al-Quran, baca koran, baca majalah, atau pun sekadar membaca iklan, hehe.
Aqil tersenyum lembut, lalu merebahkan lengannya di dinding kapal. “Sejak kekhalifahan Umar bin Khaththab, Muawiyah sudah membujuk khalifah tersebut untuk membentuk pasukan armada angkatan laut. Tapi, Khalifah Umar bin Khaththab tidak menyetujuinya.
“Tapi, Muawiyah tidak berputus asa. Ide untuk membangun armada angkatan laut tetap ingin dilakukannya,” ucap Aqil, memandang teman-temannya dengan senyum. Sengaja benar memancing penasaran mereka. Satu pun tidak ada yang bergerak. Radit, Satria dan Aliv yang bahkan dijuluki Trio IJU (Iseng, Jail, Usil) terdiam mendengarkan.
“Pada saat Utsman bin Affan menjadi khalifah, Muawiyah kembali meminta izin. Ia menyampaikan rencananya membangun armada angkatan laut, karena dia dan pasukannya ingin menyebarkan agama Islam ke pulau Qubrush atau Cyprus. Pada saat itu, Qubrush dikuasai oleh Romawi. Pasukan Romawi sering menjadikan sebagai pelabuhan perang mereka.” Aqil berhenti lagi, membuat napas teman-temannya memburu tak sabaran. Tersenyum sendiri. Ah, ternyata beginilah rasanya menjadi narasumber!! Selalu ditanya-tanya dengan tak sabaran. Aqil senyum lagi, menarik napas, dan …
“Setelah berusaha meyakinkan Khalifah Utsman bin Affan, akhirnya Muawiyah mendapat izin membangun armada angkatan laut. Khalifah Utsman juga mengizinkannya untuk menaklukkan Pulau Qubrush dengan dua syarat,” kata Fatya sambil melirik Aqil yang menatapnya sebal. Habis sih, kamu banyak berhentinya. Temen-temen pada nggak sabar, tahu! ucap Fatya dalam hati.
“Pakai syarat?” Faris mengernyit.
“Ya, pakai syarat,” Fatya mengangguk. “Syarat pertama : Muawiyah harus membawa istrinya. Syarat kedua : Pasukan yang ikut harus dengan kemauan sendiri. Artinya, Muawiyah tidak boleh mamaksa siapapun untuk menyertai pertempuran ini.”
“Oh, jadi berapa banyak pasukan yang ikut di pertempuran Cyprus?” tanya Athia penasaran.
“Walau Muawiyah tidak memaksa siapapun untuk ikut serta, ada banyak pasukan yang memilih ikut. Salah satu dari pasukan tersebut bernama Ubadah bin Shamit. Dia membawa istrinya yang bernama Ummu Haram binti Milhan, saudari kandung Ummu Sulaim binti Milhan, ibundanya sahabat Rasulullah, Anas bin Malik.
“Loh? Ngapain dia ikut perang di lautan??” tanya Radit histeris, membuat Trio IJU dan temannya yang lain menatapnya melek.
“Karena Rasulullah pernah bersabda : Pasukan pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, mereka kelak akan masuk Surga. (Faathul Bari 6/120).” Jaihan tersenyum. Dia menimpali perkataan Radit. “Atau hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda : Akan ada sekelompok dari umatku yang mengarungi lautan, seperti raja-raja di singgasana. Dan Ummu Haram meminta Rasulullah untuk mendoakannya agar dia menjadi salah seorang dari mereka, lalu Rasulullah pun mendoakannya.
“Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Beliau tidak pernah berbicara dusta. Apa yang beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah. Ummu Haram benar-benar ikut dalam armada angkatan laut pertama itu. Dia mendapatkan janji untuk masuk Surga!” timpal Aqil.
Ketiganya tampak berpacu dalam bercerita, seakan mereka berlomba-lomba. Membuat mata teman-teman mereka berpindah-pindah lantaran sumber pemancar yang berpindah-pindah_-
“Pasukan armada angkatan laut pertama dengan dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan berlayar menuju Pulau Cyprus. Pasukan ini bukan untuk menguasai atau menjajah Cyprus, melainkan untuk menyebarkan Islam, kemudian mengamankan perbatasan wilayah negara Islam di Syam dari serangan Romawi!”
Semua mata menoleh ke Keni yang santai meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding kapal.
“Kenapa ada pasukan pertama dan kedua?” tanya Qalesya dan Dira penasaran. Keduanya tampak belum mengerti.
Fatya tersenyum, langsung bercerita, “Karena, pada awalnya, penduduk Cyprus menolak kedatangan pasukan Islam. Mereka menutup gerbang ibukota mereka, Lefkosia atau Nekosia, serta menutup benteng. Mereka menunggu pasukan Romawi datang dan membantu mereka dari pasukan Islam.
“Akhirnya, pasukan Islam mengepung ibukota Cyprus. Tidak butuh waktu lama, penduduk Cyprus menyerang, dan mengajukan perjanjian damai—“
“Kenapa pasukan Islam menyerang mereka? Bukankah kedatangan mereka bukan untuk menguasai, menjajah, melainkan untuk menyebarkan Islam? Kenapa mereka malah menyerang Cyprus?” tanya Aliv dengan wajah polos khasnya. Anak satu ini memang lucu, polos dan kekanak-kanakan, tapi aura kedewasaannya akan terlihat saat dia marah atau dalam pelajaran IPA! Pelajaran kesukaaanya.
Fatya menatap Aliv, “Aliv, saat pasukan Islam mendatangi sebuah daerah untuk menyebarkan agama Islam, mereka memberi dua pilihan. Pilihan pertama : masuk Islam, dan pilihan kedua : membayar jizyah atau upeti. Dan saat itu penduduk Cyprus menolak kedua pilihan itu. Nah, dalam prinsip pasukan Islam, jika kedua pilihan itu tidak disetujui maka ada pilihan lain, yaitu : perang.”
Semua anak menatap tak berkedip, walau sesekali mereka tampak ber-woah takjub.
“Nah, pada tahun 32 Hijriyah, penduduk Cyprus mengingkari penjanjian damai dengan Muawiyah. Mereka membantu pasukan Romawi dengan menyediakan perahu-perahu besar untuk menyerang kaum muslimin.
“Mengetahui pengkhianatan penduduk Cyprus, Muawiyah pun datang kembali. Muawiyah bersama pasukannya menyerang pulau itu dengan gencar dan hebat. Beliau membagi pasukannya menjadi dua. Pasukan pertama dikomandani oleh Muawiyah sendiri, sedangkan pasukan kedua dikomandani oleh Abdullah bin Sa’ad. Serangan bertubi tersebut membuat pasukan musuh banyak yang terbunuh dan tertawan.” Fatya menghirup napas panjang, menahan gerakan tangan Faqih yang hendak menyentuh air Sungai Nil, lalu melirik Aqil. Lanjutkan! Begitu kode matanya.
“Akhirnya, penduduk Cyprus menyerah. Mereka mengajukan perjanjian damai lagi dan Muawiyah menerima perjanjian itu untuk yang kedua kalinya.
“Setelah itu, Muawiyah menempatkan 12.000 tentara untuk tinggal dan berjaga di Pulau Cyprus. Muawiyah juga membangun kota, mendirikan masjid dan menggaji tentara yang bertugas di sana. Dan, Cyprus pun menjadi aman dari pemberontakan dan serangan Romawi. Tamat ceritaa~~” Aqil nyengir sambil merentangkan tangan.
“Hebat banget, ya. Bertempur di lautan. Mereka nggak tenggelam?” ujar Aliv sambil mengerjap kagum.
“Ya nggaklah. Mereka kan bertempur di atas kapal-kapal, bukan di atas air laut,” sahut Satria sebal. Dia dan Radit memang sangat kompak dengan Aliv, bahkan mereka terlihat seperti adik-beradik.
“Eh? Iya, kah? Aliv kira mereka bertempur di atas air laut, hehe,” ucap Aliv cengengesan sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Mana mungkin orang bertempur di air laut! Bakal tenggelam nanti!” ucap Radit sambil menyikut Aliv. “Ada-ada saja. Malah bisa mati semua orang kalau bertempur di air laut, tahu nggak?”
Aliv nyengir, “Kan Aliv salah kira. Abang Radit galak banget.” Ucapnya sambil memonyongkan bibir.
Semua tertawa ringan melihatnya.
“Tapi, ada yang lebih penting kita ketahui …” ucap Kuro sambil menatap air Sungai Nil. Suaranya terdengar menyeramkan. “Ada sebuah sejarah dari Sungai Nil yang harus kita ketahui …”
“Sejarah apa tu, Bang Kuro?” tanya Faqih lucu. Jika semua orang bergidik ngeri mendengar intonasi Kuro yang menyeramkan, dia malah bertanya santai.
“Sejarah Nabi Musa yang pernah dihanyutkan di Sungai Nil …”