marathon-25 Aqil

Palestina, Sahabat Lama    
Aku dan ayah memasuki ruangan tempat makam Sunan Kudus. Aku sudah tahu  kalau makamnya di ruangan ini karena aku suka membaca buku tentang sejarah, namun baru kali pertama aku melihatnya langsung. Setiap hari orang banyak berkumpul untuk berziarah kemakam Sunan Kudus. Aku pun juga ziarah di makam Sunan Kudus.   Setiap hari, masjid ini penuh dengan para peziarah yang hendak ziarah ke makam Wali Allah ini.

Masjid menara Kudus punya bentuk yang khas, mirip dengan bangunan peribadatan Hindu. Menara Kudus tingginya  17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar masjid, manusia dan onta serta kurma. Pengaruh budaya hindu kata sejarawan terlihat dari desian masjid.  

Perutku sudah terasa keroncongan. Tapi sengaja aku sembunyikan dari ayah. Namun sikapku menimbulkan kecurigaan dimata ayah karena dia melihat wajahku cemberut.
“Kamu sudah lapar,ya? Kok cemberut?.”Tanya ayah sambil membungkuk melihat wajahku.

”Iya,yah.”aku mengaku tanpa melihat wajah ayah. Ayah mengambil inisatif untuk keluar komplek masjid.
“Yuk, kita cari makanan dulu!, ” kata ayah  
 “Oke,yah!,” kataku sambil mengangkat wajah.

Kami tiba disebuah warung yang menjual makanan makanan khas Kudus. Ayah memesan soto kaki kambing dan teh hangat, sementara aku memesan intip ketan dan teh hangat.  

 Sambil makan, ayah bercerita tentang jasa jasa sunan Kudus. ”Nama sunan Kudus adalah Ja’far Sadiq, ketika dia kecil dia dipanggil Raden Undung. Sunan Kudus menyebarkan Islam di daerah Kudus dan daerah lainnya disekitaran Kudus. Dia memiliki ilmu syariat ,terutama fiqih, tauhid, hadis, tafsir, dan logika. Sunan Kudus juga mendirikan masjid didaerah loran pada 1549. Masjid itu diberi nama al -manar (Masjid Menara Kudus) atau al-aqhsa”.

“Masyaa Allah! Jasa sunan Kudus besar ya ,yah! dia mendirikan masjid dan memberi nama masjidnya seperti nama masjid suci di Palestina.” aku menanggapi penjelasan ayah,tapi masih asyik dengan makanan enakku.

Ayah sudah selesai makan dan membayar makanan ayah dan aku. “Ayah!tunggu,dong. Aku belum selesai makan. ” aku merajuk sambil menunjuk piringku yang isinya belum habis. 

“ Iya,deh! Ayah tunggu sampai makananmu habis.”kata ayah menunggu didekat tempatku duduk.

“Sebenarnya dari mana asal negara Sunan Kudus, Yah?”

  “Menurut sejarah,dia berasal dari Palestina”  

“Jadi, Sunan Kudus berdakwah sampai meninggal di tanah Jawa?. “  

“Iya, seperti Rasulullah. Meski dia lahir di makkah,tapi dia meninggal di madinah. Seorang laki-laki harus siap meninggalkan kampung halamannya. Merantau. Ada yang ccari ilmu, ada yang bekerja, ada yang berdakwah”

  “berarti Palestina dan Nusantara dulu sudah saling terhubung sejak lama ya Yah?”  

“Iya, Palestina seperti guru dan sahabat lama Indonesia”.    

Sebelum pulang kerumah, kami menyempatkan diri ke toko suvenir atau oleh oleh untuk dibawa pulang. Kalau aku memilih membawa kaligrafi untuk dipajang didinding kamarku. Ayah juga setuju membelinya. Ternyata kaligrafi kecil yang aku pilih berharga 25.000. Kalau kaligrafi yang besar sampai yang berbahan kuningan, bisa mencapai harga jutaan. Aku mengukur bingkai kaligrafi itu. Kira kira ukurannya dua jengkal tapi cukup untuk dimasukkan ke tas ransel ayah. Aku memberikan kaligrafi ini pada ayah.   Ayah menyerahkan uang pembayaran kaligrafi dan memasukkan kaligrafi itu ke tasnya. Sebelum pulang ,aku melihat kebelakang tempat masjid menara Kudus. Mungkin suatu saat,kami sekeluarga bisa kemasjid ini bersama sama. Motor ayah mulai bergerak ,Masjid menara Kudus perlahan mulai menghilang dari pandangan mataku,namun pandanganku masih mengarah kebelakang. Seolah masjid itu sayang untuk ditinggalkan. Namun aku mengahadap kedepan dan segera mengubah pikiran. Yaitu semangat untuk cepat sampai kerumahku.   Ketika terdengar suara adzan ashar,kami menghentikan perjalanan di depan gapura kecil tempat masuk masjid. Ayah memasukkan motornya ke gapura kecil itu dan berhenti ditempat parkir masjid. “kita shalat ashar dulu,ya?.”kata ayah sambil turun motor. Aku mengangguk. Kami mencari tempat wudhu pria dan wudhu,kemudian masuk masjid. Tapi ternyata kami sudah tertinggal satu rakaat. Kami langsung mengikuti gerakan imam sebelum tertinggal dua rakaat.  

Setelah shalat asharr,kami melanjutkan perjalanan pulang. Namun di tengah jalan didekat rumahku, jalannya rusak. Jadi harus diberi aspal. Akhirnya kami melewati jalan lain untuk kerumah. Namun perjalanan dari sini kesana,harus menempuh waktu sekitar setengah jam. Kami pun memutuskan lewat jalan itu. Di kanan kiri jalan itu ,tidak banyak rumah orang orang yang kulihat. Aku melihat banyak pohon tinggi yang melindungi kami dari panas matahari. Orang orang saling bertegur sapa ,anak anak bermain dengan riang. Namun aku hanya melihat saja semua itu. Namun tahu tahu aku sudah sampai dirumahtepat saat adzan Maghrib.            

Marathon 24 – Cantika

beling

Tema : Broken Home

Seoul, Korea Selatan.

Setiap hari bagaikan bencana. Setelah kerja seharian sebagai pembantu di rumah orang, aku harus pulang ke rumah mengurus seorang pria pemabuk dengan anak berandalan. Tidak apa, asalkan putraku bisa hidup mencukupi kebutuhannya, aku akan bertahan. Toh kalau kabur, apakah uang kami akan cukup tanpa bantuan suami?

Aku menghela nafas, mengelus dada sejenak, lalu membuka pintu. Begitu di buka, bunyi decitan pintu beriringan dengan bau alkohol yang sangat pekat keluar. Di lantai, tampak banyak botol soju bertebaran.

“Han Seo Ji! Kaukah itu?” Seorang pria dengan muka boros berdiri, lagi-lagi begini.

“Y-ya, ini aku.” jawabku gugup. Wajahku resah, semoga hari ini emosinya tak tersulut lagi.

“Seo Ji cepat belikan aku soju!”

Aku memberanikan diri meraih pergelangan tangannya, lalu mengelus-elus. “Sudah cukup ya, sayang? Sudah berapa botol kau habiskan hari ini?”

“Kenapa kau yang mengaturku!? Cepat belikan!” bentaknya. Bau akohol tercium sangat keras di hidung. Aku mulai bertanya-tanya berapa banyak botol soju yang di habiskan hari ini? Emosinya sudah berantakan, dia mabuk berat, dan kalau kulawan bisa berbahaya.

“Ba-baik, mana uangnya.”

“Si tua bangka sialan itu belum memberiku gaji,” dia mulai memaki. “pakai uangmu saja dulu.”

“Tapi uang ini untuk biaya sekolah Taebin!” aku mencengkram erat lengan bajunya. Tanpa sadar suaraku tadi naik satu oktaf, membuat dia terdiam dan membuka sedikit mulutnya, menampakkan gigi yang kuning. Gawat!

“Cih, untuk apa kau memikirkan anak biadab itu? Bukankah kau selalu membayar penalti sekolah untuk semua kejahatannya?”

Sebuah pukulan mendarat di pipi, membuat pipi terasa panas, dan begitulah seterusnya. Tak apa, tak apa, aku sudah biasa, asalkan uangnya tak diambil dan bisa berguna untuk kebutuhan sekolah Taebin, aku akan bertahan. Kini dari tamparan berganti menjadi tendangan di kaki, aku terjungkal ke lantai, pasrah badan ini di injak-injak dengan kasar  sama seperti harga diri.

Wajahku tertunduk, meski tertutupi rambut hitam yang panjang, samar-samar aku dapat melihat dari balik dinding dapur sepasang kaki yang bersembunyi, sebelah tangannya keluar, begitu pula dengan mata. Kaukah itu, nak? Ibu ingin marah sekaligus kangen padamu, kemana saja selama seminggu ini? Kenapa tak pulang ke rumah? Ibu baru gajian, ibu ingin mengajak makan sup sundubu jjiggae, makanan kesukaan putraku. Sudah lama sekalikan semenjak terakhir kali kita makan itukan? Bulan lalu juga gaji wanita malang ini di ambil ayahmu.

Melamunkan semua itu membuatku tak merasakan sakit yang menimpa, syukurlah. Tiba-tiba pukulannya terhenti, baru sekarang ngilu terasa di sekujur tubuh. Sudah selesaikah?

“Kau masih berkeras tidak ingin memberikan uangnya, ya?” ujar ayah Taebin, nadanya terdengar mengancam. Aku punya firasat buruk mengenai ini. “Sepertinya kau mesti di pukul pakai yang lebih keras, supaya lain kali tidak melawan lagi.”

Dia berbalik, mengambil sebuah botol soju kosong. Menyeringai kasar kepadaku. Membuatku terkejut.

“Tolong,” pintaku. Badan dan suaraku bergetar, berusaha berdiri, meraih pergelangan kakinya untuk memohon. “jangan lakukan hal yang akan kau sesali kemudian.”

Balasan yang di dapat hanyalah sentakan keras, pria yang bekerja sebagai tukang bangunan itu menarik kakinya, membuatku tergeletak di lantai. Aku tahu, tak ada gunanya memohon saat ini, emosinya sudah tak terkendali, tapi tetap saja aku berusaha berdiri dan memohon. Yang Un mengayunkan tangan tinggi-tinggi, membuat bagian bawah botol soju itu membentur dinding, menjadikannya pecah berkeping-keping dan mengenai telapak kakiku, bersiap untuk memukul. Refleks tanganku bergerak dan membentuk silang di atas kepala.

“Ibu!!!”

Prang!

Sudah? Beginikah akhirnya? Walaupun terdengar egois, tapi aku harap Han Seo Ji sudah mati sekarang. Salahku juga, tidak mendengarkan nasihat orangtua. Seandainya saat itu aku tidak jatuh cinta dan kawin lari pada seorang buronan, mungkin saat ini seorang mahasiswi cantik  yang setiap hari selalu diajak kencan dan dimintai nomornya sudah menjadi seorang dokter di rumah sakit ternama. Sayang, Seo Ji malang ini malah tak pakai otak dan kabur dari rumah bahkan sebelum lulus.

“Ck, Ibu dan Anak sama saja, sama-sama tak berguna!”

Lagi-lagi terdengar suara botol soju yang pecah, tapi kali ini botol itu pecah di lantai, membuat belingnya bertebaran kemana-mana, langkah derap kaki terasa semakin menjauh, lalu pintu di banting dengan keras.

Aku… belum mati? Dengan perlahan-perlahan, rumah yang berantakan nan busuk kembali terlihat. Tampak bercak darah di sekitar lantai,  terlebih lagi di botol soju yang sudah pecah. Entah kenapa badanku tak merasa sakit ataupun terasa mengeluarkan darah. Dengan rasa penasaran, mataku berputar-putar mencari sumber darah tersebut, dan itu terhenti di…

“Taebin!”

Di sekitarnya terdapat banyak darah, dia menutupi matanya dengan tangan yang adalah pusat darah itu keluar. Refleks aku terduduk, menarik Taebin dalam pelukan. Tiba-tiba setitik air membasahi wajah. Aku bingung, kerasnya hidup membuatku kebal dari menangis, bahkan ketika menghadapi KDRT. Jadi kenapa baru sekarang? Apakah kau melindungi ibu, nak?

“Ibu…” dia merintih sembari memegang tanganku.

Aku menahan nafas, rasanya sakit sekali! Sekarang harus bagaimana? Badan ini tak sanggup berdiri hanya untuk sekedar meminta bantuan di jalan, lagi pula memang akan ada orang? Daerah ini termasuk daerah yang sepi. Aku berpikir keras, sudah lama aku tak berdoa, kalau berdoa sekarang, apa Tuhan akan mendengarkan? Tapi… tak ada salahnya berdoa!

Tring! Bunyi itu menyusul tepat setelah aku selesai berdoa. Itu berasal dari kantong Taebin, dia berbentuk kotak panjang, bercahaya. Segera aku mengambilnya, dan memencet ikon telepon. Dengan tangan gemetaran aku mulai memencet nomor demi nomor.

“Halo,” seseorang menyapa dari dalam telepon. “denga-“

“Tolong, tolong, anak saya berdarah!”

***

Lima belas tahun kemudian…

“Sekarang, mari kita potong pitanya!” Ujar sang pembawa acara. Dia menggeser sedikit kepalanya menuju seorang wanita cantik yang sudah beruban. “Nyonya Han Seo ji dan pak Yang Murae kami persilahkan.”

Aku berdiri dari kursi, semua mata tertuju padaku dan pria disampingku, di depan seorang pria tampan yang mengenakan setelan formal berdiri, dia menyodorkan dua gunting.

Setelah hari itu semua berubah. Aku dan Choi Yang Un resmi bercerai satu bulan kemudian, dan dia dimasuki penjara atas hukuman KDRT, sekarang pasti sudah keluar. Lalu aku juga jadi rajin beribadah. Memang, semua tak berjalan lancar, Taebin kembali menjadi anak berandalan sampai umurnya menginjak angka 19. Tapi setelah itu dia berubah total.

Taebin bercerita kepadaku bahwa ketika sudah 19 tahun, dia tersadar bahwa semuanya sia-sia, dia mulai memikirkan bagaimana acaranya membahagiakan ibu. Siapa sangka, sewaktu bekerja di sebuah cafe dia belajar banyak dari seorang koki, dan di dukung oleh bakat, makanan Taebin menerima banyak pujian. Maka sejak saat itu Taebin bermimpi membangun restoran untuk dirinya sendiri, ia bekerja keras sebagai model dan koki di sebuah restoran. Agak lucu juga seorang anak berandalan bisa memasak. Ini diluar dugaannya.

Akhirnya, setelah sebelas tahun berlalu, Taebin berhasil mencapai mimpinya. Semua mata tertuju kepada kami, begitu pula dengan Taebin, dia menyeringai membuat paras rupawannya yang sudah dewasa semakin bertambah. Dengan perlahan aku menggunting pita merah, kini restoran berkelas yang hanya di datangi orang-orang terhormat resmi terbuka! Suara tepuk tangan memenuhi aula. Pria disebelahku yang adalah koki pengajar Taebin dulu, membungkuk memberi hormat. Sekarang dia tidak lagi seorang koki, tapi kepala koki di restoran milik anak muridnya!

Aku bersandar di jendela, dari sini nampak kota Seoul yang luas, penuh dengan lampu-lampu yang menerangi malam hari. Musik dansa mulai dimainkan, orang-orang terhormat juga mulai mengambil posisi. Jangan heran, selama sebelas tahun kerja keras Taebin sebagai koki, namanya sudah banyak di kenal orang, dia bahkan sering pergi ke luar negeri untuk bekerja di restoran-restoran ternama. Pria yang sudah memasuki umur 30 tahun itu berjalan mendekat lalu mengulurkan tangannya mengajak berdansa.

Sprint 25 – qalesya

Daun Ciptaan Allah

Kemarin aku dan keluargaku pergi ke Universitas Indonesia di depok untuk berlari sore. kami kadang suka berolahraga bersama biar tubuh kita sehat kata bundaku. tapi ada yang bereda dengan lari sore di hari itu. ibuku membawa kantung bening yang sudah ia siapkan untuk tempat menaruh koleksi daunku. baru kali ini kami ingin melihat daun – daun yang ada di hutan universitas indonesia (UI) biasanya kami mengamati daun dari taman ke taman saja. di perjalanan menuju UI, aku melihat pemandangan yang indah tetapi tak lama kemudian adikku tertidur di perjalanan, lalu aku menyusul pun ikut tertidur hee. dan sejenak terbangun (jeglek) ada polisi tidur yang baru saja kami lewati, tak lama aku tertidur lagi lalu (jeglek) sejenak terbangun lg. hee. alhamdulillah aku sudah sampai di UI.

Setibanya di UI dan ayah ku memarkir kendaraan di parkiran masjid UI, kami langsung berlari-lari kecil disekitar danau UI yang indah lagi-lagi kami bersyukur dan mengucapkan Alhamdulillah, subhanallah, Allahbuakbar betapa indah ciptaan allah.

Ditengah-tengah lari kecil kami, tepat nya di pinggiran danau kami menghentikan lari kami dan mendekati sebuah pohon yang unik, ternyata pohon itu bernama Cemara Udang. daun di pohon itu unik memiliki daun yang panjang – panjang menyerupai pohon cemara.

Kami lanjutkan berlari kecil dan melihat tumbuhan yang pemalu, hee. disebut pemalu karena jika ia disentuh langsung menguncupkan daun nya. nama nya daun Putri malu.

Tidak jauh dari Daun Putri malu tepat nya masih di pinggiran danau ada daun cantik yang berwarna biru-kuning nama nya Lili paris.

Daun ini tumbuh dan di tanam dalam di pot tidak tumbuh liar dan bebas seperti tumbuhan lain yang aku temui hari itu di UI. kami pun selesai berlari kecil di danau kami melanjutkan ke bundaran gedung balairung UI, biasanya kami lari-lari kecil memutari lingkaran itu sampai kami merasa lelah atau sampai sesikitnya jarak tempuh kami 5 km kalau kata bunda.hee sepanjang lingkaran nya terlihat tanaman kecil bernama daun kacang hias, daun ini memiliki bunda – bunga kecil yang indah berwana kuning.

Selanjut nya ada tanaman lagi yang berdaun unik bernama daun Pakis Elang semakin mendekati kuncup daun nya maka ukuran daun nya pun akan semakin kecil.

Pakis elang ini ternyata tumbuh diatas tumbuhan yang lain. unik yaa. seperti tumbuhan parasit yaitu jamur. disamping Pakis Elang ini ada pohon yang besar sekali batangnya pun besar bernama Petai cina, biji pohon ini seperti pohon petai hanya ukuran biji nya ini lebih kecil dari pohon petai yang biji/buah nya suka dijadikan lalapan makanan.hee.

Adzan maghrib pun tanpa terasa sudah terdengar dan berasal dari Masjid UI itu tandanya berati olah raga sore dan perjalanan mengoleksi daunku pun harus diakhiri.

Alhamdulillah ada banyak tanaman yang aku amati hari ini. dan belum semua nya aku ceritakan mengamatanku disini. insya’Allah dilain buku dan proyek menulis aku sambung lagi ya ceritanya. Teman – teman yang penasaran ingin tau koleksi daun yang aku temukan di hutan UI, bisa teman – teman lihat di gambar ku yang berjudul “Mengoleksi Daun”. Betapa indah dan banyak nya ciptaan Allah, seharusnya kita bisa merawat dan menjaganya sebagai “paru-paru dunia” kalau katanya bundaku. hee

Marathon 25-Diara

Menjelang magrib mereka ingin berwisata kuliner di medan ya tentunya mereka sudah sholat magrib kini tujuan Merdeka walk merupakan pusat wisata kuliner di kota Medan. Ini terletak di pusat kota Medan, tepatnya di jalan Balai Kota Medan.

Merdeka Walk berkonsep outdoor, menu makananya bermacam-macam, yang paling khas itu seperti Soto Medan, Nasi Gurih, Capcay, berbagai macam Sop, pancake durian, dan ada juga menyediakan makanan khas daerah lain seperti Sate Padang dan Mpek-Mpek Palembang. Harganya cukup terjangkau, mulai dari Rp.25.000/porsi dan untuk minuman mulai dari Rp. 15.000-

Merdeka Walk buka setiap hari, di Hari Minggu sampai Jumat mulai pukul 11.00 sampai pukul 00.00 WIB. Sementara di Hari Sabtu, diperpanjang hingga pukul 02.00 WIB karena biasanya ada live music di stage area. Dan paling meriah ketika lagi musim piala dunia, banyak yang nobar.
Hania: “Aku makan apa ya?”
Zahra : “ Aku mau nasi gurih ah, kayak gimana itu?”
Aisyah : “Aku mau makan Soto Medan.”
Hanin:”Kakak juga mau Soto Medan ah, Hania jadi mau pesan apa?”
Hania :”Nasi Gurih a dech.”
Mereka berempat duduk di dekat stage yang biasa ada live music, namun malam itu sedang tidak ada yang pentas. Sambil menunggu makanan datang, mereka foto-foto dulu di beberapa Spot.
Zahra :”Alhamdulillah kita sudah dapat kainnya, setelah ini kita ke mana lagi Kak?”
Hanin : “Sebentar Kakak cek dulu.”
Hanin mengambil Silver dari dalam tas, dan mulai mengecek tujuan perjalanan mereka selanjutnya.
Hanin :”Kota selanjutnya yang akan kita kunjungi adalah Kota Banjar Kalimantan Selatan.”
Aisyah :”Jauhnya…”
Hania:” Tenang Aisyah, kita pergi dengan Silver. Enggak naik kapal laut.”
Aisyah :”Kok kamu tahu aku takut naik kapal laut? Aku suka mual soalnya.”
Hanin :” Kalian tahu enggak, infonya tempat ini akan ditutup oleh Pemkot Medan.”
Aisyah, Hania, Annisa, Zahra serempak bilang :” Hah….ditutup!”
Hanin:” Iya ditutup selamanya, akan dibongkar gitu.”
Zahra :”Emang kenapa Kak?”
Hanin :” Lokasi ini termasuk area hijau, jadi rencananya akan dikembalikan menjadi area hijau.”
Hania:” Terus para penjualnya dikemanain?”
Hanin:” Mungkin direlokasi, Cuma Kakak tidak tahu ke mananya.”
Hania:”Alhamdulillah makanan kita sudah datang, mari makan.”

Makanan pesananpun mulai berdatangan, dengan semangat mereka mulai makan dengan lahap sambil menikmati suasana malam di Medan.

Marathon 25 – Tiara

Chapter 34: The Shelter and Another Escape

Cycil

                “Okay kids, we’re here” the police woman says as she opens the car door. I crack my eyes open, looking at the policewoman.

Arthur tightens his hold on me and whimpers.

“Oh come on dearest, out the car. I promise that they’ll take care of you. Until morning of course or until we find any relatives that you might have to take care of you”

“Why are we taking them into a shelter? Shouldn’t we take back to the-“

“The office? No, we’ll keep them here until we find their relatives. If we can’t find them until tomorrow, we’ll call in social services. But I don’t think they’ll like sleeping in a police headquarters. Besides that blond kid will annoy everyone” the policewoman says as she picks me up.

Arthur looks at me horrified before he quickly gets out the car and joins us.

“Daisha come on. You know we should-“

“No. Ben, I’ve seen enough kids lost at night, we bring them back and then they sleep in the office for the night and social services comes in the morning if we can’t find their parents.

“But the office is swamp and it’s better for an autistic kid to not be there tonight. We’ll pick them up in the morning and then call social services” the policewoman says, Daisha I think.

“Fine, but if they’re gone in the morning we’re not looking for them” the policeman Ben says. I smirk internally, that is what I’m hoping for.

“Excuse me! Is there anyone there?!” I pretend to steer at the yell. Black dreadlock hair covers my vision, I gasp a breath and starts to shake.

“…Where am I?” I ask them weakly. Arthur leans over to me, rubbing my arm to calm me down.

“Maxi?”

“Oh is his name Maxi? Maxi we’re going to a shelter; they’ll take care of you until tomorrow” Daisha says as she looks down on me. I look up at her, face fill with fear.

“We tried to go in. They said it’s full”

“Don’t worry this one isn’t” she tells me. I watch as Daisha talks to another woman. Soon we’re lead inside and she sets me down on a mattress, she smiles at me and sighs.

“Where are you two from?” she asks.

“Chicago” I lie. She looks at me concerned before she looks at Arthur, who is lying beside me half asleep.

“That’s a long way.”

“We needed to go” I tell her shrugging.

“Okay. I’ll see you two tomorrow” she says leaving. I nod as I slowly turn to the side, facing Arthur and pretending to be asleep.

Arthur closes his eyes. We wait as Daisha exits. I can still hear her walking to someone before leaving the building and driving away. I wait as two other doors closes before I sit up. Arthur follows and grins.

“That is one weird cop” he tells me. I nod before looking around. There are a bunk beds filled with people, some are on the floor, curled up in mattresses with blankets and pillows.

“I forgot how it looks like to be in a shelter” I tell him as I look around at the people here.

“I forgot that you used to sleep in a place like this” Arthur says as he wipes away rest of the tear marks on his face. I chuckle as I look around.

“You’d be a great actor” I tell him as I look to the roof, the windows are too high to climb.

“Yeah? Doubt it” he tells me.

“Well not everyone can just summon tear at will” I tell him as I stand up to look out the door and into the hallway of the building.

“Spoiled little brats can” Arthur says as he walks over to me.

“Maybe, but either way you still have that option. How did you learn how to act anyway?” I ask him. He shrugs opening the door fully and walks out. I follow behind him, looking through the window into the empty street.

“Should we leave a note?” I ask him.

“Why should we?”

“Because there is something that is bothering me about that woman. Something that is just- ugh, never mind” I tell him opening the window at the end of the of the hallway. Arthur hums like he doesn’t believe me.

“I’ve known you since we’re-“

“Oh shut up Arthur” I tell him as I climb onto the window seal and open the window wider. I look out scanning the area.

“Look Cycil-“

“Enough”

“Come on… you wanna leave a note go ahead I’ll wait” Arthur says as he pops his head out with me. I glare at him before climbing out the window. I crouch down, Arthur following behind me.

“Forget about it Arthur. It just bugs me a little. You still have the staff?”

“Hehehehe, yeah. But anyway we’re moving on. Look” Arthur says nudging me using the stick to point to an alleyway. Two kids are crouching down and huddling together.

“You know I’ve got a better idea” I tell him. I walk over to the two and smile.

“Hey… there are two extra mattresses in the shelter. Why don’t you two climb through the window and go sleep there?” I ask them.

They look at me suspiciously.

I look to their old tattered clothes and dirty skin, with greasy hair and tired eyes.

“Is it really okay?” one of them ask me. I nod and stand up.

“Go ahead. In the morning when a policewoman comes just tell them that Maxi is gone and she doesn’t need to worry” I tell them as they run to the open window. I watch as Arthur helps them in and smile. Arthur walks over to me and smile.

“Okay now that’s taken care of. Let’s go to the van” Arthur says and grabs my hand, dragging me away and onto the street. I laugh and nod.

“You just need support cause you can’t walk. Even though you have that stick” I tell him. Arthur grins before he leans heavily on me, not putting pressure on the stick at all.

“I’ve got a sprained ankle and you’ve got bullet wound”

“I’ve got a few paintball shoots”

“Also we did fall side first onto concrete road so maybe we have some broken bones… it’ll probably bruise in the morning”

“It’s definitely going to bruise in the morning”

“Oh definitely”

. . . . . . . . . .

        “Okay there” Arthur says as he limps forward to the familiar van parked outside a 24-hour café. I laugh and limp together with him. I open the door and smile, watching Francis scrambles out the driver’s seat and crawl to the door.

“Thank God!!” Francis yells happily as he hugs me. I laugh and climb in.

“You’re not even that religious” Arthur mumbles as he crawls in and sit on the floor.

“I thought we would have to bail you out of jail!”

“Same here, guess we were both wrong” I tell him letting go. I look back to Arthur and smirks. I gasp when someone hits me in the gut, I laugh and hug Marjorie’s back swinging side to side.

“Hey… you okay?” I ask her rubbing circle around her back to sooth her.

“What happened?” She asks looking up. I chuckle and looks at Arthur, he give me a look that says he isn’t going to help.

“Well another thing leads to another and then we found ourselves at the other side of the park. Then we had to run all over to find somewhere we can climb over because there was a gap between the wall and the trees” I tell her awkwardly. I let her go and crash onto the couch, happy to rest my legs and sit down.  I look to Arthur to see Francis looking at the stick weirdly.

“Let this be a lesson to all of you. When in danger or in need pick up a long as all Hell stick and pretend to be a blind homeless kid that needs a ride to the nearest shelter” he tells them dumping the stick onto the floor.

Peter suddenly hug me.

“Of course go to Cycil, Arthur’s fine” he says jealously. I grin and stick my tongue out at him as he crawls into the driver’s seat.

“Are you not tired?” Marjorie asks

“I’m ready to pass out” Arthur says as he starts the engine.

“Well we’re going back to that pilot centre before I pass out so buckle up and hope I don’t” Arthur says.

Francis cackle happily, he crawls to the passenger seat and looks back.

“You guys go sleep we’ll handle this” Francis says smugly. I nod along shrugging and walking to the bed, crashing down on it happily.

“Nah, I’ll tell you tomorrow morning. But tonight I would rather sleep” I tell them shifting around so that it doesn’t hurt.

“Can we sleep in tomorrow?” Peter asks. I chuckle and groans twisting around, still feeling the pain.

“I think we’re stuck here until Arthur can walk without that stick anymore” I tell them gesturing to the staff

“Wait what?”

“Arthur pulled his hip”

“I DID NOT!!” Arthur yells from the front.

“Okay he fell –well both of us fell. Okay both of us fell and now none of us can move without winching.” I tell them.

“Why does it sound like something from a TV show?” Francis asks. I laugh and finally stops moving.

“Who would want to watch what happens in our life?” I ask them, our life is not so exciting.

“I’d watch it. I wanna see how they broke your arm” I tell him. I laughs as the other three’s face drop.

“Well I’d watch that too. But it’s funny how everyone I have ever known has at least injured me in some way, be it a minor injury, broken bone, concussions” I tell them.

Francis and Peter cackles madly while Arthur is snickering at the front.

“What?! It’s true!!”

“Yeah… what kind of friends are we?”

“The kinds that literally break you to pieces just to fix and build you up again.”

“I have wonderful friends.”

Marathon 23 – Irbath

Untuk sampai ke Geopark, saya dan kakak – kakak melalui perjalanan yang jauh. Meskipun begitu, saya menemui banyak tempat yang unik. Kami melewati jalan berliku, jalan naik turun gunung yang menanjak dan menurun tajam, sawah yang menghijau, melewati tepian pantai, bahkan kami melewati air terjun. Sebelum kami sampai di Geopark, kami berhenti di suatu puncak bukit yang dinamai Puncak Darma. Dari puncak ini, area Geopark hampir seluruhnya bisa terlihat. Di sana saya dan kakak – kakak menunggu waktu matahari tenggelam untuk berfoto – foto. Selama menunggu kami masih banyak melakukan akvisitas; yaitu makan mie di warmindo, minum es kelapa muda, main kejar – kejaran, dan duduk – duduk bercengkerama. Eeh tau nggak… saya melihat bule menaiki sepeda sampai ke Puncak Darma.  Sampai akhirnya datanglah sunset dan kami berfoto – foto. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Geopark.

Marathon 25-Faqih

Fatih berdiri dengan mata tajamnya, memandang Loukas Nevada yang berusaha bangkit setelah diserang. Entah kenapa dia tidak lagi punya rasa kasihan. Ah, mungkin kesedihan yang telah lama disembunyikan tersebut membuat energi besar yang tak terkatakan.

Loukas Nevada menatap Fatih, “Ka-Kau be-berani betul …”

Fatih menatapnya galak, tanpa ampun, “Kau sudah kalah. Akuilah kekalahan itu!!”

Loukas Nevada menatapnya remeh. Walaupun kekuatan kristal Arzey, Lightning, Safir, Berlian dan Trezz sudah berpindah kepada Rehorbot dan digunakan Fatih, dia masih mempunyai kekuatan tersembunyi.

Kebencian.

Kebencian itulah yang membuatnya memiliki kekuatan. Loukas Nevada bangkit, kristal Trezz yang tersimpan di saku celananya diambilnya, dicampakkannya di lantai kastil.

“RASAKAN MALAPETAKA INI!!! HENTAKAN MAKSIMAL!!!”

Loukas Nevada melemparkan kristal itu ke dinding, bukan ke lantai! Dia hendak dinding kastil ini runtuh dan membuat semua musuhnya itu tertimpa reruntuhan.

Fatih memejamkan mata, diacungkannya kristal Tryavir berkekuatan tarikan.

Semua orang menatapnya tak percaya. Sejak kapan kristal itu padanya? Bukankah kristal itu tersimpan di peti kristal? Berkumpul bersama kristal lain? Dan … peti itu tersimpan di kapal angkasa?

Misterius.

Mendadak Huma, Hatun, Radu, Ghazi dan Muska merasa Fatih ini memang punya kedudukan dan kekuatan misterius.

Tryravir segera menarik kristal-kristal elemen yang berada di sekitar Loukas, menariknya mendekati Fatih. Kristal-kristal tersebut mengambang di dekatnya, lalu dengan tatapan matanya yang tajam dia menangkupkan kedua tangannya.

Inilah waktunya untuk menamatkan kau.” Fatih berucap tajam, walau terdengar pelan. Dalam tangkupan tangannya tersebut, muncul sebuah bola sinar.

“HIYAAAAHHH!!!!!” Fatih melemparkan bola sinar biru itu ke atas. Bola tersebut mengambang, membuat sulur berwarna biru ke arah setiap kristal.

Fatih berseru lagi, lebih kencang, “RASAKAN INI!!!! PEMBANTAIAN TERAKHIR!!!!!”

Semua kristal itu bersatu. Membentuk sebuah kristal lagi. Fatih menatap Loukas Nevada tajam, kristal hasil penyatuan tujuh kristal tersebut turun ke tangannya.

Loukas Nevada masih belum mengerti maksudnya. Anak itu sudah berteriak, tapi mana serangannya?

Fatih memegang kristal itu. Menatapnya lama. Inilah kristal Rehorvod sejati. Kristal Rehorvod, hasil penyatuan kristal . Fatih memejamkan matanya, memegang kristal itu erat, dan saat memegangnya itu, aura berwarna-warni pun muncul mengitarinya. Lalu …

“Fatih Overhide!!!!”

Sempurna.

Semua orang terpana, kecuali Laksamana Kassa dan Wazir Halil yang tersenyum bersama. Dari senyum keduanya terpancar rasa bahagia. Lalu, mereka kembali mengamati, apa yang akan dilakukan Fatih?

Fatih menatap Loukas Nevada dengan tajam. Aura kemarahannya di mana-mana. Loukas Nevada menatapnya dengan tatapan gentar.

“Rasakanlah akibat melampau!” ucap Fatih, menghentak kaki ke lantai, “Hentakan tanah!!”

Tubuh Loukas Nevada terlempar ke atas. Lalu Fatih menyambutnya dengan serangan satu lagi, “Hentakan tanah maksimal!!!”

Tubuh Loukas terpental lagi, kali ini dengan teriakannya yang membahana. Fatih tak peduli, dia terus menyerang. Kali ini kemarahannya benar-benar bulat.

“Tembakan sinar gamma!!” Fatih tak puas, dia membentuk lingkaran yang lain lagi. Lingkaran kecil ini seperti pistol, menyemburkan sinar gamma dengan tembakan. Sinar gamma adalah sinar yang bisa menghancurkan apapun di luar angkasa sana. Dan itu mengerikan.

Fatih memejamkan matanya, tangannya terjulur lurus sembari memegang kristal Rehorvod. Dia berseru kencang, “PORTAL TELEPORTASI!!!”

Lingkaran portal muncul di belakang Loukas Nevada, lalu dengan tatapan yang separuh berair dan separuh marah, Fatih menembaknya lagi.

“SEMBURAN GAMMA!!!!!”

Telak. Fatih tanpa ampun dan tanpa kasihan menumpas pengkhianat itu. Dia menyerangnya sendirian, dengan serangan yang tak diduga. Semua orang berusaha menahan diri agar tak terikut arus angin yang berhembus kencang karena semburan itu.

“AAARRRGHH!!!”

Loukas Nevada terdorong arus semburan, tubuhnya masuk ke dalam portal. Dalam sekejap, lingkaran itu menghilang.

Portal tersebut membawanya ke luar angkasa sana.

Fatih tersenyum getir menatap langit yang seketika membiru cerah. Tubuhnya mengambang, lalu meluncur jatuh ke tanah, berdebam, dan saat itu …

“FATIH!!!!”

Semuanya berseru senang mendekatinya. Radu, Muska dan Ghazi memeluknya erat. Huma dan Hatun berpelukan berdua dengan senyum ceria kepada Fatih. Kapten Zerofo tersenyum sendiri. Fatih memandang semua rekannya dengan senyum lemah namun bahagia. Dia lelah, kesakitan, tetapi semuanya terbayar dengan kebahagiaan.

Dan saat itulah Fatih kembali melihat senyum Laksamana Kassa yang amat damai. Juga senyum senang Wazir Halil. Tapi, ada kejadian tak terduga,

“HIDUP PANGERAN!!!!”

“BANGKIT PUTERA!!!!”

“BINA KEMBALI KERAJAAN SEVEN CRISTAL ELEMENTS!!

Teriakan membahana dari rakyat. Dari masyarakat. Dari penduduk. Semuanya berseru-seru, bersorak, berteriak. Suasana tersebut membuat Fatih bingung, sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Bukankah, dia baru saja menyelesaikan pertarungan tersebut di Rumania dan belum kembali …

Kapten Zerofo menunjuk kristal Saits. Fatih mengangguk paham, tersenyum. Kapten Zerofo telah membawa mereka kembali ke markas Zao di Indonesia dengan kristal Saits yang berkekuatan teleportasi tersebut.

Fatih sungguh senang, bahagia sekali. Ditatapnya teman-temannya yang mengulum senyum. Ah, terimakasih Allah, membantuku melawan pengkhianat dan kerajaan yang ayahku bina telah kembali padaku …

Marathon 25 – Namira

“Mungkin mereka sengaja membawanya agar ketika ada ancaman berbahaya seperti Jaguar misalnya, mereka bisa melindungi diri.” gumam Avarie.

“Tapi kita kan bisa menggunakan senjata kita sendiri!” Aisyah menatap senjata yang sudah dipegangnya entah sejak kapan.

“Yah, aku setuju sih. Tapi lebih baik kita berjalan saja dan melihat tanaman disekitar kita ini, lebih menarik. Daripada mendengar ocehanmu yang gak jelas, takut hanya karena mereka membawa tombak? Huh! Ada-ada saja!” Avarie berkata kesal, Aisyah cemberut mendengarnya. Mereka kemudian terus berjalan hingga sekitar 20 menit, karena Avarie tadi sempat melirik jam miliknya.

Tiba-tiba kedua suku Mura itu berhenti, dan sepertinya Avarie dan kedua temannya tidak perlu bertanya mengapa mereka berdua berhenti. Tepat dihadapan mereka, ada sebuah pohon yang buahnya bergantung, pohon itu banyak buahnya.

“Itu ….kentang?!” tanya Aisyah bingung, menatap buah di pohon itu.

“Itu sawo Aisyah! Masa’ kentang pohonnya tinggi begitu!” Avarie menertawakan Aisyah yang mukanya langsung memerah karena malu.

Kedua suku Mura itu tiba-tiba menepuk bahu Avarie dan memberi isyarat pada mereka untuk memanjat. Avarie hanya mengangguk, memanjat pohon itu dengan cepat dan tangkas. Dia kemudian membawa turun lima buah sawo yang menurutnya sudah matang. Kemudian, dengan menggunakan bahasa isyarat, Avarie menyuruh kedua orang suku Mura itu untuk memanjat dan mengambil lagi buah sawo yang masih ada diatas. Tanpa perlu disuruh dua kali, kedua orang suku Mura itu kemudian memanjat secara bergilir, hanya Aisyah dan Kiana yang tidak ikut-ikutan memanjat. Untungnya, buah sawonya banyak sekali yang sudah matang. Mereka berdua melempar buah sawo yang matang kebawah, keemudian ditangkap oleh Aisyah dan Kiana, Avarie sudah memegang lima buah sawo, jadi dia tidak ikutan menangkap bersama Aisyah dan Kiana.

Setelah merasa buah sawo yang dilempar telah cukup, kedua orang suku Mura itu turun kebawah, secara bergantian lagi, kemudian mengajak Avarie dan teman-temannya berjalan pulang.

“Psst! Ava! Bagaimana mereka tahu jalan pulang ketempat tadi?” tanya Aisyah setengah berbisik pada Avarie. Padahal, dia sebenarnya tidak perlu berbisik, karena kedua orang Mura itu tidak akan mengerti bahasa mereka. Avarie hanya menggeleng sambil mengangkat bahunya, dia juga tidak tahu. Mungkin saja para orang di suku Mura sudah terlatih dan hafall dengan jalan-jalan di hutan.

Pada malam harinya, Avarie dan teman-temannya tidur seperti sedang kemah, walau tanpa tenda seperti biasanya orang hendak pergi berkemah. Malam itu juga, Avarie dan teman-temannya tidak perlu mencari makanan seperti tadi siang. Ternyata suku Mura itu sudah menyiapkan makanan untuk malam hari.

Malam itu, Avarie dan kedua temannya tidur dibawah bintang.

“Menyenangkan sekali melihat bintang seperti ini …” gumam Avarie, kedua temannya yang lain sudah terlelap, dia akhirnya juga ikutan tidur.

Keesokan harinya, sinar matahari membangunkan Avarie dan teman-temannya.

“Hai! Sudah bangun?” tanya sebuah suara, ternyata itu adalah suara professor Khalid yang menyapa mereka bertiga.

“Ehm …sudah bangun ….” Kata Avarie sambil mengucek matanya, keuda temannya juga melakukan hal yang sama.

“Ayo! Bergegas! Kita akan mulai pencarian!” kata professor Khalid dengan semangat, beberapa anggota lainnya juga sepertinya bakal ikut dalam pencarian ini.

Rombongan itu kemudian bergerak, berjalan menuju sungai. Walau kali ini, pemimpinnya bukan kak Fatma lagi. Karena kak Fatma itu bukan lagi bagian dari mereka seperti dulu ….

 

 

 

Rapel – Bella

Belakang rumah Akung

Suasana belakang rumah Akung ( mbah kakung), kadang penuh dengan jagung, kadang penuh dengan padi.

Dua-duanya aku suka. Melihat proses demi proses keduanya itu seru lho. Apalagi kalau ada mesin penggiling datang, berisik, hehehe.

Sekarang, gak perlu ke rumah Akung untuk melihat ini semua, belakang rumah aku yang baru juga sama seperti itu

Temen-temen boleh banget lho main ke rumah aku, ditunggu ya!