marathon-16 Aqil

 “Assalamualaikum!”ucapku didepan pintu rumahku.”Waalaikum salam.”Ayah membukakan  pintu untukku masuk.”Tadi seru gak hikingnya?.Terus makanan dari ibu dimakan gak?.”ayah menanyakanku soal pengalaman hikingku.

”Ya pasti seru ,yah!. Aku tadi main perang perangan, liat pemandangan bagus ,akan dan main susun susunan dari kayu yang diambil dari ranting pohon,”aku bercerita ini itu dengan penuh semangat. ”Yah,ibu kemana? Kok ga kelihatan?, ”kataku sambil mencari ibu.

”Ibu sedang ada pertemuan dengan teman-temannya, mau ada bakti sosial di Wonosari. Waktu peresmian sumur wakaf sekaligus bakti sosial”

“Apa itu , Ayah?.”’

“Pembagian sembako dan pakaian layak pakai, dan ada tausiyah dari ustad.”

“Aku boleh bantu, Yah ?”

 “Boleh tapi Aqil tanya pada Ibu, apa yang bisa Aqil bantu.”

Setelah mengobrol dengan ayah, akupun bertanya pada ayah, di rumah siapakah ibu  rapat, karena aku  ingin menyusul  ibu.Tapi kalau aku ikut ibu, ayah akan sendirian dirumah.

”Aku bisa apa kalau dirumah dengan ayah?Aku bosan kalau dirumah tidak melakukan apa apa.”… tapi ayah tak menjawab karena sudah masuk kamar.

Mungkin aku bisa bersih bersih kamarku,kataku dalam hati. Aku  segera mengambil peralatan kebersihan untuk membersihkan kamarku.

”Wah, anak ayah lagi bersih  bersih ya?.” komentar ayah saaat melewati kamarku.Aku hanya tersenyum senyum sambil terus membersihkan kamarku.

”Ayah! kamarku sudah bersih ,lho!,” aku menunjukkan kamarku yang sudah bersih.

”Sekarang tolong bersihkan kamar ayah, ya?.”ayah bercanda.

”Ih!Ayah tega amat.Aku gak mau!,”aku menolak.

Ternyata ada banyak hal yang bisa aku lakukan selain bersenang senang  di luar bersama teman. Contohnya beres beres kamar seperti yang kulakukan, atau sekedar ngobrol dengan ayah.

“Assalamualaikum!” Salam ibu dari  balik pintu.”Waalaikum salam,” ujarku sambil mebukakan pintu.

“Eh.Ibu sudah pulang?Tadi rapatnya gimana?.”tanyaku langsung saat mendapati ibu di balik pintu.”kok kamu tahu kalau tadi ibu sedang rapat?.”ibu malah balik bertanya.

”Aku diberi tahu oleh ayah.” kataku sambil nyengir

“Ada ayah gak? Ibu mau ngobrol sebentar saja.”ibu lagi lagi bertanya.”ayah sedang mandi mungkin sebentar lagi selesai.”jawabku sambil cemberut karena pertanyaanku tadi tidak terjawab.

Setelah selesai mandi, aku langsung bicara pada ayah “yah, dicari ibu.”Kataku smbil menunjuk nunjuk kamar orang tuaku. Ayah mengangguk dan menganti baju kemudian ,menemui Ibu.

Teh Hangat dan Lepet Jagung

Ada tiga buah gelas teh hangat dimeja. Ayah menyeruput perlahan tehnya, lalu mengambil lepet jagung dipiring rotan. Aku agak kesal karena tidak bisa minum es teh, padahal cuaca sedang panas. Minum teh hangat hanya akan menambah berkeringat. Tapi keluarga kami memang tidak pernah membuat es, dimusim apapun.

“Ibu-ibu sepakat untuk mengumpulkan dana untuk berbagi sembako, Yah,” ibu membuka obrolan sambil mengambil tehnya yang sepertinya sebentar lagi akan diseruput juga.

“Ayah akan meminta nama-nama warga untuk tahu jumlahnya”

“Lalu tugasku apa, dong?.” tanyaku yang masih belum berminat meminum teh hangat

“Tugas Aqil, mengumumkan ke teman-teman Aqil, siapa yang mau menyumbangkan buku, mainan atau pakaian pantas pakai,” jawab Ibu sambil mengupas lepet jagung.

Aku mengangguk saja meski aku masih belum terlalu mengerti.

“Boleh ngajak Fadil, Bu?,” tanyaku.

“Boleh ajak teman-sebanyak-banyaknya,” jawab ibu tersenyum sambil menyuapkan lepet jagung ke mulutku.

”Mesin bor didatangkan dari Jakarta melalui lembaga Global Wakaf dan akan tiba akhir pekan. Butuh lebih dari dua hari untuk mengebor tanah, karena tanah yang mengandung batu dan sulit ditembus, mungkin kita akan bolak-balik , atau Aqil dan ayah menginap di dusun,” ayah berbicara panjang.

“Wah seru kalau menginap, aku bisa banyak main dengan Afra teman baruku,” sahutku.

Akhirnya kuminum juga teh yang sudah tidak hangat.

Pikirku, mumpung ayah dan ibu sedang santai aku mau menayakan tentang tradisi keluarga kami.

“Ayah, aku boleh tanya? Kakek ke pulau Buru, ayah ke Lampung sewaktu usia  10 tahun.  Ayah ,kenapa teradisi keluarga kita Adalah melakukan perjalanan ketika seorang anak sudah berusia 10 tahun ?.”tanyaku yang masih belum paham tentang terasi keluargaku.

lalu ayah menjelaskan, “Sebenarnya tradisi kelurga kita adalah tradisi islam dari jaman dulu.Kita terinspirasi  oleh sebuah kisah Abdul Awwal Al harawi yang lahir 458 H.Seorang ulama yang dikenal gigih mencari ilmu dimasa kecilnya.Dia juga melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu bersama ayahnya di usianya yang belum genap 10 tahun, dia tidak menggunakan kendaraan  seperti unta atau kuda apalagi motor atau mobil seperti sekarang ini.Dia berjalan kaki jauh jauh hanya demi mendapatkan Hadist Rasullullah SAW.Hebat kan?.”Ayah bercerita panjang lebar tentang asal usul tradisi keluargaku.

“Rasulullah juga melakukakn ekpsedsi dagang di usia 10 tahun ikut rombongan pamannnya ke Syam,” ibu menambah penjelasan ayah.

“Kalau dulu  kalau mau dapat ilmu memang harus pergi jauh, kalau sekarang kan tidak, Yah? Kalaupun berdagang sekarang kita bisa berdagang online, jadi apa manfaat melakukakn perjalanan ini, Ayah?’

Marathon 16 – Tiara

Chapter 22: Peter’s Mullet and Cycil’s Neglect

Francis

                Peter laughs as I fall to the floor, I glare up to the back of Arthurs head. He did it on purpose I know it.

“Frann you alright?” Cycil ask as he look back down at me. I nod as I stand up to get back onto the couch. Marjorie looks at me for a second before continuing to watch the video she took when we were on the challenge course.

I look around the little van, it’s so steady, even though if Arthur brake suddenly I’ll be flying off my seat. I shrug deciding to walk to the front of the van and sit beside Cycil’s seat.

“Where are we going again?” I ask as we turn and turn again. Arthur shrugs as he turns the steering wheel to the right. I look over at Cycil. Expecting a respond, but Cycil stays quiet as he searches through his phone.

“Oi Cycil” Arthur calls. Cycil jolts as he looks around, he hums as he looks at us questioningly. I repeat my question and wait.

“Oh, we’re going to get breakfast” he tells us as he looks out the window.

“It’s nine” I tell him looking to my watch.

“So…?” he asks. I shrug, it really doesn’t matter what time it is, if we’re hungry we’re hungry.

‘Just need to get food, either making one or stealing one’ I thought. A memory play in my head and I cackle. Cycil looks at me with a smile.

“What are you thinking May?” Cycil asks. I grin.

“Remember the time we set off an alarm in an apartment just so we can steal a bit of food?” I ask him, Arthur laughs.

“The time where you freaked out and got chased by a dog?” he asks smirking my way. I can feel the twins looking our way, suddenly interested in our conversation.

“Someone would leave there dog in a possibly burning building?” Marjorie asks. The three of us shrugs, that was the only time we have ever encountered such a scary dog.

Cycil laughs as he look at me.

“That dog chased you down the street didn’t it?”

“It didn’t only chased him down a street it traumatized him” Arthur comments. I laugh, that’s where my fear of dogs came from.

“What happened afterwards?” Peter asks.

“Well we got too eat, we didn’t get caught” Cycil says, looking at me knowingly. More happened that day, I was bitten, we had to go to a friend’s house out of town to check for rabies, we accidently stole a car’s rear-view mirror we stole both my hat and Arthur’s beanie.

‘A lot happened that day’ I thought.

“Can we try that? Stealing from a burning building” Peter ask. I look back at him questioningly, who would want to steal from a burning building?

“Who ever said the apartment was burning? We only set the alarm on, there wasn’t actually a fire” Arthur says as he looks at me knowingly. I chuckle, I told them that maybe we should make a fire just so all the evidence we left behind would be burned.

“Either way it was a long time ago or we never tried that again” Cycil says. I hum.

‘No but we actually did accidently set fire to that one building a few blocks down from your apartment that almost burned down completely’ I thought, I look at Arthur to make eye contact, that was all Cycil’s plan and that was all his fault.

I look back to Peter and realises that he didn’t tie his hair in a ponytail, my eyes widen as I suddenly realise.

“Oh my God, Peter has a mullet” I tell them. In a flash Cycil unbuckles his seatbelt to turn around in his chair. He looks at Peter and laughs.

“Not a full mullet but something close to it” he says laughing, Arthur following afterwards. The twins look at each other confused, they probably don’t even know what a mullet is.

“How sad is it when you see a generation who doesn’t know what a mullet is” I ask Arthur as I lean to his chair. Arthur makes a so-and-so gesture before shrugging.

“Not that sad, but it was funny when the Old Man had a mullet” he tells me. I laugh as the twins look at each other confused. Peter grabs his hair tie and quickly ties his hair.

“Don’t worry Pete, it’s an inside joke. You can let your hair down if you want” Cycil says as he starts sitting normally.

I laugh as I look back to Peter. He looks confusingly at Marjorie and shrugs. Oh well, they don’t need to know the Old Man’s mullet days anyway.

“Oh there it is, the pizzeria” Cycil says as he points to a small building with a sign that reads ‘Pank’s Café.’ Must be a family owned diner then, I wonder who Pank is.

Arthur parks near the entrance, the twins slide the door open with a bang, running off first. I hear Arthur and Cycil yell as I follow them both out, I yell back that I would go ahead with them.

They laugh as they reach the entrance, I quickly grab hold of their hands and yank back so they won’t run in.

“Francis” They whine. I look at them before looking back to Cycil and Arthur walking across the parking lot.

“Wait for them, why don’t you? They’re the closest thing you have to adult supervision, you get caught without them and you’ll be drag to the nearest orphanage” I scare them. Peter looks at me scared while Marjorie has a calculating look on her face.

“Twin!” Cycil call them sternly, face a bit mad. “We told you not to run off, we talked about this a few months back remember? And Arthur told you he’ll twist your ear around if you run off without telling us, right?”

I look at him then to Arthur, Arthur shakes his head when I start to open my mouth to talk. I wonder if he is used to this, letting his mom or step-dad yell at his step-siblings as he stays quiet.

“Honestly you’ll get kidnapped at this rate” he tells us as he pass. I let Cycil walk in first before letting the twins go. Arthur sighs and walks to them.

“Cycil’s just worried. Alright? It’s all good, but you need to tell us when you want to go out first, you have to tell us where you’re going and when you’re coming back or else someone might kidnap you and we would only know until the next day” he tells them, he looks at me too, giving me a look that says this applies to me too.

I nod as I lead the twins in, I may act like a fool sometimes but I know when to be serious. I look around the restaurant.

Multiple flag adorn the walls, there is a bar counter with a TV. I can see a popcorn making machine and a lot of tables. It reminds me of a sports loving bar that I used to visit back in Waterloo.

Cycil sits in a booth before we joins him.

“This is one fancy looing restaurant” I tell him. I look around again, noticing the bar feeling to it.

“Not really. What do you want?” Cycil asks. I look to the menu before staring straight into Cycil’s eyes.

“I want nothing but meat” I tell him. Cycil looks at me deadpanned before he flips through the menu.

“Charming” he comments. The twins laugh as they look through the menu together, Arthur grabs a spare one and look through it.

I start to doze off as a waitress approaches. I look to the walls and the high ceiling, looking at the support beams and the flags, to the TV and to the popcorn machine. I wonder what I could make with everything in this shop and an old car, I’m sure I can repair the car, good as new.

Now that I’m thinking about it I wonder if the Old Man is having trouble with something, I wonder if his old back finally gave in and he is in the hospital right now. I should call him later. I will definitely call him later.

“Say Francis can you make a robot with everything here?” Peter asks. I snap back into reality as I look over at him, a robot? I’m an expert at cars not robots.

“Don’t know, never tried making a robot here, it’ll be interesting for sure though” I tell him. a robot out of old parts.

If I have a battery and some wires, maybe some tin foil and a potato?  I don’t know the first thing about robots. All I know is how to break them down, not make them up.

“Francis do you like Frankenstein?” Marjorie asks. I look at her before shrugging, I can’t read. I mean I can, but I’m not good. I can read if you give me a piece of paper but I’ll sound like a child.

“It’s about a man who made a living puppet. It’s all about chemicals and lightning and other stuff. There’s a book store not ten minutes from here, we can go there and then buy the book and you’ll know all about making robot since it’s the same as making a living puppet right?” Marjorie asks.

I look at her blankly, I lost her after she said lightning.

“I –um. Well –see –I – uh –What?” I ask her. I look to Peter to see him looking up to the ceiling, mumbling to himself, probably wondering what his twin just said.

Arthur looks at Marjorie questioningly before looking at Cycil.

“She asks, if we buy you the Frankenstein book, will you be able to make a robot then? Because raising a dead body back into live so that it becomes a living puppet is something that is near to making a robot, right?” Cycil says, translating slowly.

“Huh?” I ask him.

“If we buy you the book Frankenstein then you can make a robot then right?” Arthur asks as he translate what Cycil says.

“Oh, well. Making a robot is making electricity move from wires along a metal body, with codes and algorithm and stuff. While raising the dead is…” I say trailing off. I don’t know what raising the dead is.

“Raising the dead is Necromancy” Peter says. I look at him and nod, agreeing. Marjorie’s face falls and she pouts as the waitress comes back and serves us food. When did that girl leave?

As we ate I can tell Marjorie isn’t interested in anything that we’re talking about. She continues to pout and eat her pizza solemnly. I look at Cycil for answers, he looks at me and gesture to Marjorie. So I’m fixing this?

“What’s up Mar? You suddenly go mute at us like this is quite suspicious” I tell her, she looks at me with sad eyes. I smile at her awkwardly, I’m not good with this whole ‘comforting’ thing.

“I found this really cool bookshop and I thought that I could persuade you to go. But you shot that down immediately after I tried” she tells me. I look at her with a face of surprise and uncertainty.

This girl is bad at directing and manipulating words and conversation.

I can hear someone snorts and chokes, probably Arthur.

“Well at least you… tried?” I tell her looking at Cycil for help, Cycil looks at me expressionlessly, drinking his lemon tea without a care in the world.

‘Bastard’ I thought.

“I still wanna go there” Marjorie says as she looks down.

“Then we’ll go there. I’m sure Arthur won’t mind” I tell her so she’ll divert her attention to Arthur. Arthur chokes and looks at me.

“I say what now?” He asks starring at us.

“You’ll take me to the bookstore right?” Marjorie asks looking at Arthur. I give him a look that says help and he gives me a look that says ‘what am I supposed to do in this situation?

We look to Cycil and sees him looking at the wall, drinking his lemon tea.

‘Bastard traitor’ I thought all of a sudden.

“Y-yeah. Okay” Arthur gives in.

“Yay!!!”

Marathon 14 – Amanda

== Bab 4.1 ==

 

Lina dan teman-temannya akhirnya telah sampai di hotel. Kak Yani memberikan mereka kunci kamar masing-masing mereka. Lina sekamar dengan Rie dan Willy bersama dengan Teru. Mereka membereskan pakaian-pakaian mereka di kamar. Kak Yani memberitahu ketika 4 sore mereka akan jalan-jalan ke tempat liburan pertama.

Kak Yani tidak memberitahu mereka tempatnya di mana, dan Kak Yani juga bilang kalau tempatnya itu seru! Lina jadi penasaran, sekaligus bertanya-tanya, Lina mendengar Kak Yani menggumamkan “tempat es yang menarik … Ah kayaknya yang ini cocok,”. Lina tidak sempat mengintip isi HP-nya Kak Yani.

Dia keburu ketahuan nguping oleh Kak Yani, yang pertama kali Lina pikirkan adalah ice skating, selain seru dan menantang, ice skating juga bermain di es. Lina tak sabar menunggu apa yang Kak Yani maksudkan. Setelah capai beres-beres, Lina hampir ketiduran, Lina melihat jam dan ternyata masih jam 2 siang.

Lina masih punya waktu tidur sekitar 2 jam-an lagi. Rie sedang keluar membantu Kak Yani membeli beberapa barang yang perlu dibeli. Rie senang sekali dia bisa membantu Kak Yani. Rie tidak mau hanya di hotel berdiam diri saja, Rie lebih suka di luar berjalan-jalan. Lina memutuskan untuk rebahan sebentar di kamar.

Lagipula, memang sedang waktu istirahat … Lina pun merebahkan diri di atas kasur hotel yang empuk, dan itu .. membuatnya .. mengantuk .. zz .. zzzz …

 

== 00 == 00 ==

Marathon 16-Fatya

Episode 16

The Battle Begin

Ruangan ini luas, berada di belakang markas. Ada bangunan-bangunan tinggi seperti menara yang terbuat dari batu. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah menara baja. Fatya dan Namira sambil mengenggam senjata masing-masing mengamati ruangan itu terpesona. Hmm, walau dibilang ini ruangan latihan, ini benar-benar keren. Selain luas, memang tempat yang pas untuk berlatih.

“Baik,” Kapten Kairo tersenyum memandang dua gadis tersebut. “Kalian ditugaskan untuk mengambil sebuah pin yang berada di atas menara itu. Kalian start dari sini, lalu ambil pin itu.”

Fatya tercenung, Namira mengangkat alis. Katanya bertarung?

“Kenapa?” Kapten Kairo merasa ada yang tidak beres dengan dua mantan muridnya. Ditatapnya dua gadis itu penuh selidik. “Ada apa? Kok kalian begitu?”

“Emm … Tapi, kita bertarung, Kapten? Kenapa harus mengambil pin itu?” tanya Namira tidak mengerti sambil menatap Kapten Kairo yang masih takzim.

Kapten Kairo memiringkan senyum, “Ini ujian tempur, Namira. Kalian harus mengambil pin itu, tapi nanti kalian akan dihadang oleh Kuro. Nah, saat dihadang oleh Kuro, saat itulah kalian bertarung.”

Fatya ber-“oh” paham, Namira di sebelahnya hanya manggut-manggut tanda mengerti.

“Mudah saja ini,” kata Fatya remeh. Matanya melirik Namira. “Kita berdua, Kuro hanya sendirian. Kita—“

“Siapa yang bilang Kuro sendirian?” Kapten Kairo menatap mereka tajam. “Kuro memiliki pasukan yang menghadang kalian. Jumlah mereka seluruhnya ada tujuh orang.”

Namira ber-“haaah” sambil mengelus pipinya sendiri. Fatya hanya ternganga.

“Bagaimana ini?” Namira menggoyang-goyangkan bahu Fatya.

Kapten Kairo tersenyum puas. “Oke, selamat berlaga. Saya akan menonton kalian di ruang santai, hehe.”

Kapten Kairo melangkah seorang diri, kembali masuk ke markas. Meninggalkan Fatya dan Namira yang masih mematung.

***

“Bagaimana nih?”

Fatya tetap diam, membiarkan Namira yang berkicau tak karuan.

“Ayolah, apa jalan keluarnya, Aya? Aku tak mau berlama-lama!” hardik Namira kesal, Fatya spontan menatapnya tajam.

“Jalan keluarnya adalah segera mengerjakan ujian ini!!”

Fatya mengucapkannya tegas tanpa tapi. Namira terdiam.

“Semakin lama kita terdiam, semakin lama kita menyelesaikannya. Ayolah! Aku yakin kita bisa, Mira!” Fatya menyemangati.

“Kamu pikir ini mudah? Ada tujuh orang yang kita hadapi, dan semuanya laki-laki,” ucap Namira, melotot tegas.

“Tidak selamanya laki-laki kuat, kan?”

Namira terdiam, benar juga. Fatya menatapnya dengan senyum sumringah. “Ayolah, aku yakin, Mir.”

“Kenapa kamu yakin? Yang mengomandoi pasukan penghadang adalah Kuro, adiknya Kapten Kairo. Dia pasti terlatih dalam penyerangan! Kau jangan bermain-main dan santai!” Namira naik pitam. Sebenarnya dia agak galau, agak kesal, tapi agak sedih. Sedih karena kalau tidak menyelesaikan ujian ini pasti nggak jadi jalan-jalan_-

Fatya tersenyum penuh. “Aku yakin, Namira. Khaulah binti Azur saja bisa mengalahkan tujuh orang prajurit Romawi sendirian! Tujuh orang, Namira! Dan dia melawannya seorang diri tanpa dibantu!”

Namira menganga.

“Ayolah! Aku yakin kita bisa,” ucap Fatya, digenggamnya tangan Namira penuh semangat. Dia menggenggam pedang lasernya (biasanya pedang ini digunakan untuk latihan saja)

“Jangan yakin melulu! Khaulah itu si Pedang Allah dari kalangan wanita, Aya, maklum dia bisa mengalahkan tujuh prajurit laki-laki dari Romawi!” kata Namira.

“Tidak hanya Khaulah, Namira,” Fatya tersenyum. “Ada dua momen yang hampir sama. Seorang gadis mengalahkan tujuh orang preman. Aku pernah melihatnya dahulu, saat aku ke supermarket bersama Ummi. Lalu, momen kedua, si Taqiyya. Melawan sendirian lima orang laki-laki pembuli dengan jurus karatenya. Dan dia berhasil, Mir!”

Namira masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.

“Ayolah, Namira.”

“Aku tak yakin! Kuro pasti memiliki kelihaian dan kepiawaian yang luar biasa karena dia adalah adik guru tempur kita!” Namira berucap ngegas.

“Kalau Taqiyya dan Khaulah binti Azur bisa, kenapa kita tidak bisa?”

Namira menatap Fatya lagi. Dicernanya kalimat itu. Ya, benar, Aya benar. Kalau mereka bisa kenapa aku tidak bisa?

“Ayolah, Namira,” Fatya menatap Namira sumringah. “Optimislah, berdoalah agar berhasil. Setidaknya kita berjuang dengan ikhlas!”

Namira mencerna baik-baik kalimat terakhir itu. Ikhlas. Ya, Namira merenungkan sesaat. Mengerjakan ujian karena imbalan? Apakah itu juga tidak ikhlas?

Teringat dengan kisah perjuangan para sahabat Rasulullah. Mereka berhasil mengalahkan pasukan musuh karena mereka optimis, ikhlas, dan selalu berdoa.

“Ayolah! Kita mulai!” Fatya tampak sebal. “Sudah lima belas menit tanpa keputusan! Kapten Kairo, Profesor Andri dan Profesor Sari bisa-bisa nepuk jidat melihat kelakukan kita kayak begini.”

“Baiklah …”

***

“START!!”

Fatya dan Namira mulai berlari dari tempat tadi, menuju menara baja. Mereka akan segera mengambil pin itu.

Keduanya berlari fokus menuju menara tersebut. Langkah mereka laju dan beriiringan. Sepertinya tidak ada pasukan penghadang itu. Hanya mereka berdua. Suasana di sini tampak sepi.

“Yeah! Sudah sampai!!” Namira berseru lega. “Oke, sebentar. Biar aku yang naik ke atas menara, ya. Biar kuambilkan pinnya, kamu tunggu di sini. Berjaga-jaga, ya!!”

Fatya hanya mengangguk, mengedarkan pandangan ke semua arah.

Mengernyit sendiri. Suasana yang janggal. Di mana pasukan penghadang yang dikomandoi oleh Kuro seperti perkataan Kapten Kairo tadi? Mereka tidak ada di sini. Fatya mengernyit lagi, terus mengamati sekitar, dan saat Namira bersiap menaiki tangga menara,

“TEMBAKAN LASER!!!”

Fatya menatap puluhan larik cahaya laser yang melayang ke arahnya. Dengan sigap dia berusaha mengelak. Namira juga berkelit karena dia hampir terkena tembakan.

Setelah serangan itu selesai, mereka muncul.

“Akhirnya kita bertemu lagi, mantan.” Pemuda bertopi tersebut tersenyum sinis, langkahnya dikawal oleh dua pemuda lainnya. Dua pemuda itu adalah  Aliv dan Satria. Keduanya senyum-senyum sambil memanggul senjata (senjata simulasi). Mereka menghadang Namira dan Fatya, berdiri persis di depan menara.

Fatya yang tadi terjatuh, bangkit dengan amarah. Ditatapnya pemuda itu tajam. Namira yang beranjak ke sebelahnya, berbisik, “Kau punya mantan, Ay?”

“Diamlah! Dia itu mantan lawanku saat UAS tempur dulu, si Kuro!” dan Namira hanya manggut-manggut sambil nyengir-nyengir.

Pemuda yang tadi menunduk itu mengangkat kepalanya, menatap dengan posisi lebih tegak. “Apa yang hendak kau lakukan di sini, hah?”

“Ke-Kenapa tadi kau tembak kami, hah?” Fatya bertanya membalas. Sontak pertanyaannya mengundang tawa dari tiga pemuda itu. Fatya mengernyit sendiri. Ada apa? Apakah ada salah dalam kalimatnya?

“Soalan apa tu? Kau tak ingat jikalau kami ini adalah lawanmu dengan perintah Kapten Kairo?” ucap Kuro, Fatya terdiam sejenak. Ah iya, benar …

Seharusnya dia tidak lupa. Bukankah Kuro dan temannya yang lain adalah pasukan penghadang yang dipilih Kapten Kairo untuk menghadang dia dan Namira untuk mengambil pin tersebut? Bisa dibilang anak-anak ini sedang menjalankan tugasnya, tugas sebagai penghadang. Fatya pun menghela napasnya sejenak lalu melangkah ke depan.

“Kau mau ke mana, nih?” tanya Satria sambil merentangkan tangan, menghadang Fatya yang berjalan ke depan, merangsek menuju tangga menara. Fatya mendengus sebal, terus mencari celah jalan yang kosong, terus merangsek ke depan. Tapi sayangnya, jalannya terus dihadang oleh tiga anak itu.

“Ish, ke tepi! Biarkan aku ambil pin itu!” ucap Fatya, kesal karena Satria terus menghadangnya, menghalanginya berjalan menuju menara. Aliv pun terkekeh karena mendengar perkataannya barusan.

“Ihihihi, mau ambil pin itu kakak kata? Kakak kira kakak bisa, ya?” tanya Aliv, tersenyum remeh.

“Mestilah bisa!” ucap Fatya tegas, tangannya mengisyaratkan Namira untuk segera ke depan. Sayang, semua jalan diblokir oleh tiga pemuda tersebut. Alhasil, keduanya terjepit dalam kepungan.

“Oh, macam tu, ya? Jikalau kau bisa ambil pin itu, kalahkan kami dulu!” ucap Kuro menantang, dikeluarkannya pedang lasernya. Fatya pun mundur beberapa langkah saat Kuro mengeluarkan senjatanya.

Jujur dia ingin menyerah, walaupun dia tahu ini hanyalah ujian simulasi. Ujian yang mirip asli tapi sebenarnya pura-pura. Senjatanya pun bukan senjata asli. Tapi, demi kepungan dan senyuman sinis mereka, nyalinya yang awalnya membara jadi padam. Dia ingin sekali menyerah, tapi hati terkecilnya berkata ‘jangan’.

Diingatnya lagi pengalaman-pengalaman masa lalunya saat bertarung dengan Kuro ataupun Kapten Kairo. Diingatnya lagi kisah-kisah perjuangan para sahabat Rasulullah. Fatya memejamkan matanya, menghela napas lagi, lalu mengatupkan rahang.

“Kalahkan kalian? Baiklah, aku tak takut …” ucap Fatya sambil memandang Kuro. Kuro pun menatapnya remeh, lalu bergerak menyerangnya.

“HIYAAAAAHHH!!!”

Beruntung, Fatya dan Namira segera menghindar. Keduanya berpencar menghindari serangan. Berusaha berkelit, mengelak, sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan serangan.

***

“Oi? Kenapa pula mereka lari?” Amanda menatap layar televisi CCCTV yang menampilkan aksi Fatya dan Namira.

Mereka semua sedang berkumpul di ruang santai. Kapten Kairo menyuruh mereka melihat aksi Fatya dan Namira lewat televisi CCTV. Semuanya berkumpul, tak terkecuali Pilot Salim dan Profesor Andri.

“Haih, seperti permainan kejar-kejaran aja,” ucap Cantika lalu mengunyah popcorn-nya.

***

“Eh? Dia lari?” Kapten Kairo memastikan pandangannya, ya, benar, kedua anak itu berlari menghindari Kuro, Aliv dan Satria yang menyerang mereka.

“Seperti inikah mereka bertarung denganmu dulu, Kairo?” tanya Profesor Andri, dia tak percaya.

“Hmm, t-tidak, Prof! Biasanya dia langsung melawan saat saya menyerangnya dahulu …” ucap Kapten Kairo, terbata. Tak percaya dengan kelakuan anak-anak itu.

“Oh, jadi, ini rancangan serangan dia, ya?” tanya Profesor Sari pula.

“Yah, mungkin …”

“Pandai juga muridmu itu membuat rancangan, ya …” timpal Pilot Salim, lalu fokus menatap layar.

 Kapten Kairo nyengir kuda, dalam hatinya dia berharap agar anak-anak itu memberikan hasil yang memuaskan.

***

“TEMBAKAN LASER BERTUBI-TUBI!!!”

Aliv yang memegang revolver berseru. Bergaya sekali dia menyerang. Tapi, bersamaan itu pula Namira yang diincarnya bersembunyi di balik sebuah batu.

“Kak Namira … Kakak di mana nih?” ucapnya dengan nada menyeramkan. Aliv sadar kalau gadis itu sedang bersembunyi darinya. Dengan senyum imutnya yang licik dia pun berkata, “Oh, kakak mau main petak umpet, ya? Tak apa, Aliv akan menemukan kakak. Hihihi …”

Aliv memulai pencariannya dan menganggap pertarungan ini menjadi permainan. “Kakak, kakak di mana nih?” ucapnya lagi, dengan nada dua kali lebih menyeramkan.

Namira menunduk, berharap pemuda itu tak menemukannya, “Pikirkan sesuatu … Pikirkan sesuatu …” ucapnya dalam hati sambil berpikir, menyiapkan siasat penyerangan.

Sambil sesekali berbisik lewat walky talky karena Fatya menghubunginya terus-terusan, dia mengintip dari balik batu gerak-gerik Aliv yang mengincarnya.

Kau di mana, Mira? Ayolah kita mulai serangan pembalasan!

“Sebentar, si Aliv sedang mengincarku sekarang …” ucapnya berbisik sambil memegang revolver-nya, dia menahan napas, mencari posisi tepat untuk menyerang.

Dia menahan napasnya, bergerak pelan, menyiapkan revolver-nya.

Setidaknya ujian ini segera dilalui dengan cepat! Dia tidak sabar, tahu!

Marathon 16 – Namira

Kak Fatma yang sudah sampai dibawah langsung menggenggam erat tangan Kiana, menggendongnya, kemudian naik dan memanjat, dia menatap Aisyah. Aisyah langsung paham, kalau itu adalah kodenya.

Aisyah memicingkan matanya sebelah, kemudian menembak, tapi tidak terkena sasaran.

“Yak, sekali lagi harus kena …” gumam Aisyah pelan, dia menraik pelatuk pistolnya, dan…

SRIING!

Peluru mengenai sasaran dengan tepat, Aisyah tersenyum puas, menyeka dahinya, tadi itu sangat mengerihkan!

Kak Fatma langsung loncat kebawah lagi, dan membawanya ke tempat yang cukup jauh. Tadi kak Fatma sempat meminta Aisyah untuk menembak lagi sebanyak lima kali, jadi khasiat pelurunya bisa bertahan lebih lama. dengan hati-hati, kak Fatma kemudian menggendongnya yang sudah tertidur dengan pulas akibat peluru Aisyah, kak Fatma membawanya ketempat yang cukup jauh dari pohon tadi.

“Kamu baik-baik saja kan Kiana? Nih! Minum dulu! Huft, seharusnya tadi kakak membiarkan kamu naik dulu, atau kakak gendong seperti tadi …” kak Fatma menghembuskan nafas pelan sambil memutar-mutar bahunya yang pegal karena menggendong Kiana yang berat. Wajar sih! Sudah 11 tahun!

“Tadi itu apa ya?” tanya Avarie, dia meneguk air minum dari botol miliknya, walaupun bukan dia yang menghadapi seperti kak Fatma.

“Itu namanya Jaguar Avarie. Dia adalah hewan sejenis kucing besar yang tergolong salam genus Panthera. Binatang ini merupakan kucing liar ketiga setelah Singa dan Harimau, dan juga merupakan kucing terbesar dibelahan barat. Binatang ini meliputi wilayah Meksiko utara, melintasi Amerika Tengah hingga ke Paraguay, Argentina utara, dan Argentina selatan.” Kak Fatma menjelaskan sembari meletakkan ransel untuk menjadi bantal. Kiana sudah berada di salah satu dahan, bersiap untuk istirahat seperti yang lain.

“Tadi itu ngeri banget! Aku sampai gak bisa bernafas rasanya!” kata Kiana, mengelus dadanya yang masih deg-degan.

“Haah, aku juga. tadi deg-degan banget waktu menembak.” Kata Aisyah.

“Kalian belum seberapa, bayangkan kakak yang mengangkat Jaguar itu, seram sekali melihat taringnya!” kak Fatma bergidik ngeri.

“Sudah yuk! Aku sudah ngantuk sekali! Selamat tidur semuanya!” Avarie langsung memutus percakapan, dia tidur dengan ranselnya sebagai bantal.

“Ava! Jangan terlalu nyenya tidurnya! Bisa-bisa kita jatuh kebawah!” kak Fatma memperingatkan Avarie.

“Yaa, aku tahu kok!” kata Avarie, dia melanjutkan tidurnya.

“Nah, kalau begitu, selamat tidur semuanya! Besok kita akan lanjut berjalan! Kita harus mengejar gerombolan itu! Untung sewaktu menelpon kemarin, markas sempat mengirimkan lokasi mereka! Hooaaam!” kak Fatma meregangkan badannya, melihat sekali lagi, memastikan anak-anak sudah tidur semuanya.

“Benar-benar hari yang melelahkan!” gumam kak Fatma sebelum akhirnya dia tertidur.

Sprint 16 – Alif

Bismillah

Aku suka dengan kisah keberanian Ali ketika menghancurkan benteng Khaibar.
banyak sekali yang menghalangi dakwah Nabi yang mulia, diantaranya Kaum Yahudi Khaibar, Yahudi Bani Nadhir, Quraizhah dan Yahudi Bani Qainuqa.

Maka Rasulullah pergi ke kota yang disebut sebagai kota Khaibar.

Setibanya di sana beliau berkata kepada orang -orang “Bendera ini akan aku serahkan besok pagi kepada orang yang paling dicintai Allah dan Rasulnya”.

Teman-teman tahu siapa dia? Dia adalah Ali bin Abu Thalib.
Keesokan harinya beliau bertanya “Mana Ali?”. Para sahabat berkata “Matanya sakit ya Rasulullah”. Beliau berkata “Panggil dia”. Maka Ali dipanggil. Dengan izin Allah, Rasulullah dapat menyembuhkan mata Ali. Lalu beliau menyerahkan panji/bendera kepadanya.

Dengan gagah berani, Ali mencoba menghancurkan benteng -benteng Khaibar.
Benteng -benteng tersebut ada 5 yaitu (An Naim, Ash Sha ‘ab, Az Zubair, Al Ubay dan An Nizar).
Benteng Khaibar yang terakhir bernama benteng An Nizar. Benteng tersebut berada di puncak bukit. Benteng tersebut sulit di rebut karena setiap kali kaum muslimin mendekat orang -orang Yahudi melontarkan bebatuan. Maka Rasulullah memerintahkan menggunakan senjata dabbabah yaitu manjaniq sejenis ketapel besar

Maka hancurlah benteng -benteng kota Khaibar oleh Ali. Akhirnya kaum Yahudi membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Mereka juga membagi hasil kebun kurma mereka.

Masya Allah Ali memang sahabat Rasul yang pemberani, ia mampu menjebol benteng yang bahkan Romawi yang jumlahnya lebih banyak tidak bisa sampai menjebol benteng itu. Tapi tentu saja karena Allah yang memberi Ali kekuatan.

=======

Sekian kisah sahabat Alinya ya teman-teman

Besok insya Allah Alif akan membuat kisah sahabat yang lain.

Sprint 16 – Umar

Hola!. Ada pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”, jadi, biarkan aku memperkenalkan diri sebagai permulaan.

Halo!. Namaku Jack, Jack Mandagi. Aku berumur 18, aku berasal dari keluarga yang hebat, semua keluargaku mempunyai pekerjaan yang hebat, ayahku seorang detektif, ibuku seorang peneliti, kakekku seorang penjelajah yang masyhur, nenekku seorang perancang busana yang terkenal, pamanku seorang arsitek dan banyak lagi yang lebih hebat.

Tapi. Diumurku ini, aku merasa sulit mencari pekerjaan. Bukan karena aku susah diterima, tapi dikarenakan, jika aku juga mendapatkan pekerjaan yang hebat seperti keluargaku yang lain, itu berarti aku tidak belajar hal yang baru dan hanya mengikuti jejak mereka. Itu tidak seru sama sekali.

Jadi diumurku ini aku memutuskan untuk menjadi seorang petugas perpustakaan. Aku merasa itu keren, bayangkan selama berhari-hari aku dikelilingi buku-buku yang tidak akan habis aku baca dalam waktu yang pendek. Selain itu aku juga ingin membangun banyak perpustakaan di berbagai tempat yang kekurangan, dan aku harus memulai dari bawah.

Keluargaku tidak menyetujuinya, karena aku anak paling muda dalam silsilah keluarga. Mereka ingin aku mengambil pekerjaan yang sama seperti mereka, kudengar sih agar tidak mencoreng nama baik, tapi entahlah. Lagipula di perpustakaan itu aku mulai menemukan berbagai hal yang menakjubkan, disitu ada buku yang dikunci disebuah ruangan yang gelap. Legenda perpustakaan kata mereka, tapi aku belum percaya setidaknya sampai aku mengetahui bahwa setiap bulannya ada sebuah pertemuan dan semua karyawan di hari itu dilarang masuk atau libur.

Percaya deh, ini akan menjadi hebat.

Tertanda : Jack Mandagi

NB : Bersiap-siaplah