Episode 16
The Battle Begin
Ruangan ini luas, berada di belakang markas. Ada bangunan-bangunan tinggi seperti menara yang terbuat dari batu. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah menara baja. Fatya dan Namira sambil mengenggam senjata masing-masing mengamati ruangan itu terpesona. Hmm, walau dibilang ini ruangan latihan, ini benar-benar keren. Selain luas, memang tempat yang pas untuk berlatih.
“Baik,” Kapten Kairo tersenyum memandang dua gadis tersebut. “Kalian ditugaskan untuk mengambil sebuah pin yang berada di atas menara itu. Kalian start dari sini, lalu ambil pin itu.”
Fatya tercenung, Namira mengangkat alis. Katanya bertarung?
“Kenapa?” Kapten Kairo merasa ada yang tidak beres dengan dua mantan muridnya. Ditatapnya dua gadis itu penuh selidik. “Ada apa? Kok kalian begitu?”
“Emm … Tapi, kita bertarung, Kapten? Kenapa harus mengambil pin itu?” tanya Namira tidak mengerti sambil menatap Kapten Kairo yang masih takzim.
Kapten Kairo memiringkan senyum, “Ini ujian tempur, Namira. Kalian harus mengambil pin itu, tapi nanti kalian akan dihadang oleh Kuro. Nah, saat dihadang oleh Kuro, saat itulah kalian bertarung.”
Fatya ber-“oh” paham, Namira di sebelahnya hanya manggut-manggut tanda mengerti.
“Mudah saja ini,” kata Fatya remeh. Matanya melirik Namira. “Kita berdua, Kuro hanya sendirian. Kita—“
“Siapa yang bilang Kuro sendirian?” Kapten Kairo menatap mereka tajam. “Kuro memiliki pasukan yang menghadang kalian. Jumlah mereka seluruhnya ada tujuh orang.”
Namira ber-“haaah” sambil mengelus pipinya sendiri. Fatya hanya ternganga.
“Bagaimana ini?” Namira menggoyang-goyangkan bahu Fatya.
Kapten Kairo tersenyum puas. “Oke, selamat berlaga. Saya akan menonton kalian di ruang santai, hehe.”
Kapten Kairo melangkah seorang diri, kembali masuk ke markas. Meninggalkan Fatya dan Namira yang masih mematung.
***
“Bagaimana nih?”
Fatya tetap diam, membiarkan Namira yang berkicau tak karuan.
“Ayolah, apa jalan keluarnya, Aya? Aku tak mau berlama-lama!” hardik Namira kesal, Fatya spontan menatapnya tajam.
“Jalan keluarnya adalah segera mengerjakan ujian ini!!”
Fatya mengucapkannya tegas tanpa tapi. Namira terdiam.
“Semakin lama kita terdiam, semakin lama kita menyelesaikannya. Ayolah! Aku yakin kita bisa, Mira!” Fatya menyemangati.
“Kamu pikir ini mudah? Ada tujuh orang yang kita hadapi, dan semuanya laki-laki,” ucap Namira, melotot tegas.
“Tidak selamanya laki-laki kuat, kan?”
Namira terdiam, benar juga. Fatya menatapnya dengan senyum sumringah. “Ayolah, aku yakin, Mir.”
“Kenapa kamu yakin? Yang mengomandoi pasukan penghadang adalah Kuro, adiknya Kapten Kairo. Dia pasti terlatih dalam penyerangan! Kau jangan bermain-main dan santai!” Namira naik pitam. Sebenarnya dia agak galau, agak kesal, tapi agak sedih. Sedih karena kalau tidak menyelesaikan ujian ini pasti nggak jadi jalan-jalan_-
Fatya tersenyum penuh. “Aku yakin, Namira. Khaulah binti Azur saja bisa mengalahkan tujuh orang prajurit Romawi sendirian! Tujuh orang, Namira! Dan dia melawannya seorang diri tanpa dibantu!”
Namira menganga.
“Ayolah! Aku yakin kita bisa,” ucap Fatya, digenggamnya tangan Namira penuh semangat. Dia menggenggam pedang lasernya (biasanya pedang ini digunakan untuk latihan saja)
“Jangan yakin melulu! Khaulah itu si Pedang Allah dari kalangan wanita, Aya, maklum dia bisa mengalahkan tujuh prajurit laki-laki dari Romawi!” kata Namira.
“Tidak hanya Khaulah, Namira,” Fatya tersenyum. “Ada dua momen yang hampir sama. Seorang gadis mengalahkan tujuh orang preman. Aku pernah melihatnya dahulu, saat aku ke supermarket bersama Ummi. Lalu, momen kedua, si Taqiyya. Melawan sendirian lima orang laki-laki pembuli dengan jurus karatenya. Dan dia berhasil, Mir!”
Namira masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Ayolah, Namira.”
“Aku tak yakin! Kuro pasti memiliki kelihaian dan kepiawaian yang luar biasa karena dia adalah adik guru tempur kita!” Namira berucap ngegas.
“Kalau Taqiyya dan Khaulah binti Azur bisa, kenapa kita tidak bisa?”
Namira menatap Fatya lagi. Dicernanya kalimat itu. Ya, benar, Aya benar. Kalau mereka bisa kenapa aku tidak bisa?
“Ayolah, Namira,” Fatya menatap Namira sumringah. “Optimislah, berdoalah agar berhasil. Setidaknya kita berjuang dengan ikhlas!”
Namira mencerna baik-baik kalimat terakhir itu. Ikhlas. Ya, Namira merenungkan sesaat. Mengerjakan ujian karena imbalan? Apakah itu juga tidak ikhlas?
Teringat dengan kisah perjuangan para sahabat Rasulullah. Mereka berhasil mengalahkan pasukan musuh karena mereka optimis, ikhlas, dan selalu berdoa.
“Ayolah! Kita mulai!” Fatya tampak sebal. “Sudah lima belas menit tanpa keputusan! Kapten Kairo, Profesor Andri dan Profesor Sari bisa-bisa nepuk jidat melihat kelakukan kita kayak begini.”
“Baiklah …”
***
“START!!”
Fatya dan Namira mulai berlari dari tempat tadi, menuju menara baja. Mereka akan segera mengambil pin itu.
Keduanya berlari fokus menuju menara tersebut. Langkah mereka laju dan beriiringan. Sepertinya tidak ada pasukan penghadang itu. Hanya mereka berdua. Suasana di sini tampak sepi.
“Yeah! Sudah sampai!!” Namira berseru lega. “Oke, sebentar. Biar aku yang naik ke atas menara, ya. Biar kuambilkan pinnya, kamu tunggu di sini. Berjaga-jaga, ya!!”
Fatya hanya mengangguk, mengedarkan pandangan ke semua arah.
Mengernyit sendiri. Suasana yang janggal. Di mana pasukan penghadang yang dikomandoi oleh Kuro seperti perkataan Kapten Kairo tadi? Mereka tidak ada di sini. Fatya mengernyit lagi, terus mengamati sekitar, dan saat Namira bersiap menaiki tangga menara,
“TEMBAKAN LASER!!!”
Fatya menatap puluhan larik cahaya laser yang melayang ke arahnya. Dengan sigap dia berusaha mengelak. Namira juga berkelit karena dia hampir terkena tembakan.
Setelah serangan itu selesai, mereka muncul.
“Akhirnya kita bertemu lagi, mantan.” Pemuda bertopi tersebut tersenyum sinis, langkahnya dikawal oleh dua pemuda lainnya. Dua pemuda itu adalah Aliv dan Satria. Keduanya senyum-senyum sambil memanggul senjata (senjata simulasi). Mereka menghadang Namira dan Fatya, berdiri persis di depan menara.
Fatya yang tadi terjatuh, bangkit dengan amarah. Ditatapnya pemuda itu tajam. Namira yang beranjak ke sebelahnya, berbisik, “Kau punya mantan, Ay?”
“Diamlah! Dia itu mantan lawanku saat UAS tempur dulu, si Kuro!” dan Namira hanya manggut-manggut sambil nyengir-nyengir.
Pemuda yang tadi menunduk itu mengangkat kepalanya, menatap dengan posisi lebih tegak. “Apa yang hendak kau lakukan di sini, hah?”
“Ke-Kenapa tadi kau tembak kami, hah?” Fatya bertanya membalas. Sontak pertanyaannya mengundang tawa dari tiga pemuda itu. Fatya mengernyit sendiri. Ada apa? Apakah ada salah dalam kalimatnya?
“Soalan apa tu? Kau tak ingat jikalau kami ini adalah lawanmu dengan perintah Kapten Kairo?” ucap Kuro, Fatya terdiam sejenak. Ah iya, benar …
Seharusnya dia tidak lupa. Bukankah Kuro dan temannya yang lain adalah pasukan penghadang yang dipilih Kapten Kairo untuk menghadang dia dan Namira untuk mengambil pin tersebut? Bisa dibilang anak-anak ini sedang menjalankan tugasnya, tugas sebagai penghadang. Fatya pun menghela napasnya sejenak lalu melangkah ke depan.
“Kau mau ke mana, nih?” tanya Satria sambil merentangkan tangan, menghadang Fatya yang berjalan ke depan, merangsek menuju tangga menara. Fatya mendengus sebal, terus mencari celah jalan yang kosong, terus merangsek ke depan. Tapi sayangnya, jalannya terus dihadang oleh tiga anak itu.
“Ish, ke tepi! Biarkan aku ambil pin itu!” ucap Fatya, kesal karena Satria terus menghadangnya, menghalanginya berjalan menuju menara. Aliv pun terkekeh karena mendengar perkataannya barusan.
“Ihihihi, mau ambil pin itu kakak kata? Kakak kira kakak bisa, ya?” tanya Aliv, tersenyum remeh.
“Mestilah bisa!” ucap Fatya tegas, tangannya mengisyaratkan Namira untuk segera ke depan. Sayang, semua jalan diblokir oleh tiga pemuda tersebut. Alhasil, keduanya terjepit dalam kepungan.
“Oh, macam tu, ya? Jikalau kau bisa ambil pin itu, kalahkan kami dulu!” ucap Kuro menantang, dikeluarkannya pedang lasernya. Fatya pun mundur beberapa langkah saat Kuro mengeluarkan senjatanya.
Jujur dia ingin menyerah, walaupun dia tahu ini hanyalah ujian simulasi. Ujian yang mirip asli tapi sebenarnya pura-pura. Senjatanya pun bukan senjata asli. Tapi, demi kepungan dan senyuman sinis mereka, nyalinya yang awalnya membara jadi padam. Dia ingin sekali menyerah, tapi hati terkecilnya berkata ‘jangan’.
Diingatnya lagi pengalaman-pengalaman masa lalunya saat bertarung dengan Kuro ataupun Kapten Kairo. Diingatnya lagi kisah-kisah perjuangan para sahabat Rasulullah. Fatya memejamkan matanya, menghela napas lagi, lalu mengatupkan rahang.
“Kalahkan kalian? Baiklah, aku tak takut …” ucap Fatya sambil memandang Kuro. Kuro pun menatapnya remeh, lalu bergerak menyerangnya.
“HIYAAAAAHHH!!!”
Beruntung, Fatya dan Namira segera menghindar. Keduanya berpencar menghindari serangan. Berusaha berkelit, mengelak, sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan serangan.
***
“Oi? Kenapa pula mereka lari?” Amanda menatap layar televisi CCCTV yang menampilkan aksi Fatya dan Namira.
Mereka semua sedang berkumpul di ruang santai. Kapten Kairo menyuruh mereka melihat aksi Fatya dan Namira lewat televisi CCTV. Semuanya berkumpul, tak terkecuali Pilot Salim dan Profesor Andri.
“Haih, seperti permainan kejar-kejaran aja,” ucap Cantika lalu mengunyah popcorn-nya.
***
“Eh? Dia lari?” Kapten Kairo memastikan pandangannya, ya, benar, kedua anak itu berlari menghindari Kuro, Aliv dan Satria yang menyerang mereka.
“Seperti inikah mereka bertarung denganmu dulu, Kairo?” tanya Profesor Andri, dia tak percaya.
“Hmm, t-tidak, Prof! Biasanya dia langsung melawan saat saya menyerangnya dahulu …” ucap Kapten Kairo, terbata. Tak percaya dengan kelakuan anak-anak itu.
“Oh, jadi, ini rancangan serangan dia, ya?” tanya Profesor Sari pula.
“Yah, mungkin …”
“Pandai juga muridmu itu membuat rancangan, ya …” timpal Pilot Salim, lalu fokus menatap layar.
Kapten Kairo nyengir kuda, dalam hatinya dia berharap agar anak-anak itu memberikan hasil yang memuaskan.
***
“TEMBAKAN LASER BERTUBI-TUBI!!!”
Aliv yang memegang revolver berseru. Bergaya sekali dia menyerang. Tapi, bersamaan itu pula Namira yang diincarnya bersembunyi di balik sebuah batu.
“Kak Namira … Kakak di mana nih?” ucapnya dengan nada menyeramkan. Aliv sadar kalau gadis itu sedang bersembunyi darinya. Dengan senyum imutnya yang licik dia pun berkata, “Oh, kakak mau main petak umpet, ya? Tak apa, Aliv akan menemukan kakak. Hihihi …”
Aliv memulai pencariannya dan menganggap pertarungan ini menjadi permainan. “Kakak, kakak di mana nih?” ucapnya lagi, dengan nada dua kali lebih menyeramkan.
Namira menunduk, berharap pemuda itu tak menemukannya, “Pikirkan sesuatu … Pikirkan sesuatu …” ucapnya dalam hati sambil berpikir, menyiapkan siasat penyerangan.
Sambil sesekali berbisik lewat walky talky karena Fatya menghubunginya terus-terusan, dia mengintip dari balik batu gerak-gerik Aliv yang mengincarnya.
“Kau di mana, Mira? Ayolah kita mulai serangan pembalasan!”
“Sebentar, si Aliv sedang mengincarku sekarang …” ucapnya berbisik sambil memegang revolver-nya, dia menahan napas, mencari posisi tepat untuk menyerang.
Dia menahan napasnya, bergerak pelan, menyiapkan revolver-nya.
Setidaknya ujian ini segera dilalui dengan cepat! Dia tidak sabar, tahu!