Marathon 09- Jaihan

Darah Di Ujung Anak Panah

 

Cahaya putih di ufuk, saat itulah adzan berkumandang dan bel berbunyi nyaring. Sudah biasa seperti itu di sekolah petualang. Suara adzan dan bel itu selalu mengundang wajah cemberut dan rasa jengkel petualang. Eh, tapi kali ini berbeda banget. Petualang justru menyambut dengan wajah ceria dan rasa senang yang luar biasa. Wah, ini adalah keajaiban dunia yang kedelapan!

Mereka menjalani pagi itu seperti biasa. Mandi lalu shalat, tapi hari itu keributan tetap ada walaupun sedikit tenang. Terus mencuci baju. Nah, di sini nih keributan yang ampun…. sampai bergulat! Hanya karena keributan antara Nazira dan Syifa. Bukan soal Syifa menunda mencuci baju, bukan pula karena pemberontakan Syifa (Yah, mana ada yang berani berhadapan dengan Nazira apa lagi berontak. Nazira mah dia bilang mau jadi TNI kelak ketika besar nanti makanya gayanya begitu, ah dia kan memang cocok jadi TNI). Hari itu terjadi keributan karena Syifa bermain-main. Dia mengambil kaus kaki Nazira, lalu berlari-lari dengan maksud agar Nazira mengejarnya untuk mengambil kaus kaki. Nazira mengejar, tapi justru Syifa tambah bermain-main. Yang lain mencoba membantu. Anak perempuan pun terbagi menjadi dua, tiga pendukung Nazira dan lima pendukung Syifa. Laila dan Haura menjadi pendukung Nazira. Mereka kalah saingan.

“Ngapa kellen sebelahan dengan orang salah.” Logat asli Aulia bicara mulai terdengar.

“Yee, emang harus sebelah Nazira terus apa?” tanya Ana santai.

“Tapi kalian itu memihak kepada yang salah, nggak benar loh! Lagian kan Nazira sudah diangkat jadi ketua perempuan, dia diangkat karena dia itu selalu benar,” jawab Laila.

“Berarti kalian berontak tuh!” tambah Haura.

Semua pendukung Syifa saling pandang, ada benarnya juga kata-kata Laila tadi.

Mereka lalu berpindah dan bersebelahan di samping Laila.

“Apa-apaan nih?” tanya Syifa ling lung.

“Kami harus berpihak pada yang benar,” jawab Humairoh, kini Syifa salah tingkah. Giliran dia yang kalah saingan. Lucu sekali rasanya melihat Syifa salah tingkah.

Mungkin karena sudah putus asa, tak ada lagi cara untuk menang selain melempar kaos kaki Nazira jauh-jauh. Mungkin cara itu lebih menguntungkan dia selain berdamai. Padahal letnan Sufi pernah bilang, “Petualang itu selalu berdamai jika dia bersalah, karena kedamaian itulah yang terbaik dan menguntungkan.”

Jenderal Aliyah juga pernah mengatakan hal yang hampir sama, “Berdamai adalah jalan keluar yang terbaik dari masalah. Selain berdamai yang terbaik adalah pasrah atau sabar, berdoa atau memohon. Jika kita seorang pemimpin, lalu ada orang yang memberontak kita, maka pilih lah dua jalan keluar dari masalah tersebut, berdamai atau perang. Tetapi berdamai adalah cara yang paling baik.”

Hmm, mungkin Syifa tak dengar nasihat itu. ya, dia memang tak mendengar. Kan saat itu dia sedang bermain dengan gelangnya.

Lemparan Syifa meleset. Eh, kaus kaki Nazira jadinya masuk dalam kloset. Aduh, Nazira jadi marah besar, sekarang dia memukul Syifa. Syifa pun balas memukul. Terjadilah perkelahian hebat, Nazira VS Syifa.

“Cepat panggil kapten atau letnan,” perintah Laila pada Aulia, dia sudah tegang melihat perkelahian itu.

“Atau jenderal, atau… siapa ajalah. Cepat!” Tambah Enisya, matanya tak berkedip sedikitpun dan badannya mematung.

“Biar Amaroh aja yang panggil,” sahut Amaroh, belum sempat di iyakan Amaroh sudah pergi secepatnya.

Bukannya memanggil kapten atau letnan atau jendral, Amaroh malah memanggil anak laki-laki. Dia pergi ke kamar mandi anak laki-laki. Ternyata mereka juga sedang ribut. Tapi nggak seribut anak perempuan.

“Nih, cuci bajuku sekalian,” kata Yazid sambil menghempas bajunya ke cucian milik Thalhah.

“Kamu pikir aku ini siapa?” tanya Thalha sembari menatap Yazid tajam.

“Asisten noni-noni atau biar keren dikit ‘Asisten Yazid bin Nibaz’ eyak… keren tuh,” jawab Yazid tersenyum lebar.

“Ihh, yang itu cuman bercanda. Aku nggak mau jadi asisten kamu, apalagi asisten noni-noni. Aku nggak mau diatur,” kata Thalhah penuh rasa jengkel, dia mengembalikan baju-baju kotor Yazid.

“Hidupkan punya aturan, kita juga harus diatur. Kalau tidak nanti ikut aliran sesat.” Yazid menasehati sembari mengambil kembali bajunya dari tangan Thalha. Thalhah hanya mangguk-mangguk saja dinasehati.

Yazid mulai jahil lagi, dia ambil kesempatan. “Tapi jadi asisten noni-noni itu penting untuk Thalhah. Buat Thalhah ya, bukan yang lain.”

“Hah? Mengapa?” Asad mulai ikut campur, dia pura-pura bertanya.

“Supaya Thalhah nanti punya banyak uang!” Kata Yazid tertawa terbahak-bahak.

Tapi tak ada yang menyambut tawanya. Thalhah juga tak marah. semua pandangan beralih kepada seorang gadis yang terengah-engah di ambang pintu.

Yazid jadi salah tingkah. Mengapa kejahilannya kali ini tak berhasil? Dia menghadap ke belakang. Oi, ada gadis asal inggris!.

“Benar-benar kalian ini. Hanya karena noni kecil itu, kalian sempat mengabaikan aku?!” kata Yazid setengah bercanda.

Tapi untung tak ada yang ambil peduli padanya.

“Ada apa Maroh?” tanya Omar dengan lembut, dia tahu kalau Amaroh punya kabar buruk atau baik.

“Kalian semua harus ke tempat anak perempuan,” jawab Amaroh dengan nafas terengah (dia tadi berlari ke kamar mandi anak laki-laki).

Semua pasti terkejut mendengarnya. Kamar mandi anak perempuan? Ihh, malu lah!

“Emang ada apa?” Ikrimah bertanya penuh penasaran.

“Ada perkelahian!” jawab Amaroh sambil menarik tangan Omar.

Amaroh dan Omar sudah pergi menjauh.

“Apa katanya tadi?” tanya Thalhah sembari menatap tubuh Amaroh dan Omar dari kejauhan.

“Ada perkelahian!” jawab Ikrimah sembari memandang kiri kanannya.

“Loh! Terus ngapain kita nggak kesana?” tanya Asad menatap wajah Ikrimah bingung.

“Aku pun juga bingung. Kenapa kita nggak bergerak,” jawab Ikrimah sembari menggamit tangan Asad.

“Kalau begitu ayo kesana, sekarang!” ajak Yazid, dia langsung pergi saja.

Yang lain reflek menyusul.

~~~

Di kamar mandi anak perempuan sedang terjadi perkelahian hebat antara Nazira dan Syifa. Omar berusaha menenangkan mereka berdua.

“Rupanya ada pemberontak,” bisik Harun, yang dimaksudnya pemberontak adalah Syifa.

“Ini kalau bukan Nazira yang berkelahi, pasti menyelesaikannya mudah,” kata Ikrimah.

“Giliran kamu, Asad,” kata Omar letoy.

“Hah? Aku? Aku mana bisa!” kata Asad histeris.

“Singa aja kamu hadapi. Induknya lagi,” kata Aulia sembari berkacak pinggang.

“Ya, udah deh..!” kata Asad mengalah.

“Eh yang suruh kalian datang kesini siapa?” tanya Laila bingung.

“Bukannya Amaroh yang suruh.” Anak laki-laki semuanya serempak menunjuk ke arah Amaroh.

Laila menatap Amaroh dengan wajah datar.

“Hehehe…” Hanya begitu ucapan Amaroh, dia merasa tak bersalah.

“Ini sebenarnya masalahnya apa sih?” tanya Asad.

“Syifa melempar kaos kaki Nazira ke kloset,” jawab Laila singkat.

“Bah, pantas Nazira semarah itu,” kata Yazid terkejut.

“Oke, aku akan mendamaikan mereka,” kata Asad dengan pede.

Semua mengangguk senang.

“Dengan syarat!” lanjut Asad,  kali ini perkataannya kurang menyenangkan.

“Syarat? Syarat apa?” tanya Ikrimah pada Asad.

“Jangan ada yang ikut campur,” jawab Asad.

Semua mengangguk setuju.

“Hei!!” Teriak Asad sekencang-kencangnya. Wajah humornya bertukar menjadi wajah bengis.

Semua terdiam mematung.

“Nazira!! Keperluan mu apa?” tanya Asad galak.

“Aku mau kaos kaki ku kembali,” jawab Nazira tertunduk, dia tiba-tiba melunak. Entah karena teriakan Asad atau karena melihat wajah bengis Asad.

“Jadi sampai sekarang kaos kaki mu belum diambil?” tanya Asad, dia makin galak saja.

Nazira mengangguk. Dia perlu banyak tenaga untuk membalas teriakan Asad.

“Kalau kaos kaki mu kembali kamu nggak akan berkelahi lagi kan?” tanya Asad lagi, pertanyaanya disambut dengan anggukan lagi.

“Syifa!” Asad memanggil Syifa dengan suara yang lebih galak.

Syifa jadi salah tingkah karena dipanggil begitu.

“Ambil kembali kaos kaki Nazira! SEEKAARANG!!” Asad menyuruh Syifa begitu galak.

Syifa hanya menuruti saja. Padahal dia orangnya begitu penjijik. Ih… entah apalah nanti kata temannya. Tapi mau bagaimana lagi. Wajah bengis Asad ada di depannya.

Ternyata benar. Setelah kaos kakinya kembali Nazira tak berkelahi lagi. Hanya saja dia jijik melihat kaos kakinya dari kloset. Jadi Syifa terpaksa mencuci kaos kaki Nazira.

Hari ini berakhir sudah drama pagi Nazira dan Syifa. Tiap pagi selalu saja ada drama antara Nazira dan Syifa. Meski itu tak terlalu lama. Mungkin hari ini adalah drama spesial.

~~~

Pagi setelah makan. Badan mereka kembali kuat. Asad mendapat jempolan dari kapten Zoo karena sudah mendamaikan Nazira dan Syifa, bangga sekali Asad atas jempolan itu. Nazira dan Syifa di nasehati panjang lebar, mereka sudah kapok di teriaki Asad dan kini mereka kapok lagi karena di nasehati Kapten Zoo. Iba sekali melihat mereka tertunduk dalam-dalam (Tapi kan mereka memang bersalah, jadi lebih baik dinasehati seperti itu agar mereka jera).

Tapi, setelah itu ada acara yang begitu menarik di hari kamis ini. Apa itu…? Olahraga!! Yeay… petualang sangat bahagia hari ini. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Tergantung dengan kegemaran mereka.

“Olahraga kita ada lima ya…” Kapten Zoo memulai.

“Berpanah!” seru Kapten Zoo, matanya tak bergerak dari memandang selembar kertas.

“Eyak..!” Olahraga itu langsung disambut suara yang bergemuruh.

“Berkuda!” lanjut Kapten Zoo.

“Wih, mantap kali ya… Di mana lah kita dapatkan kudanya, tuh?” tanya Yazid, suarannya jelas mau mencari masalah lagi.

“Syuut…, kamu diem ngapa?” tanya Syafiq, tapi berbisik.

“Kalau diam, itu namanya nggak pandai hidup. Lagian aku kan punya mulut,” jawab Yazid ngikik.

“Nggak lucu! TJPM!” hardik Syafiq, mulutnya monyong.

“Eh, itu panggilan keren buatku sepertinya. Apa tuh artinya?” tanya Yazid begitu penasaran, dia bergeser sedikit ke arah Syafiq.

Tukang Jahil Pencari Masalah,” jawab Syafiq sedikit berbisik, dia tertawa kecil (Dia adalah orang yang paling sulit dibuat ketawa oleh Yazid, hanya Asad yang bisa membuat Syafiq tertawa terbahak-bahak).

Jangan ditanya lagi bagaimana wajah Yazid dan bagaimana responnya. Dia mengomel panjang tak karuan pada Syafiq. Syafiq cuman senyum saja, yang penting aku puas.

“Jogging,” lanjut Kapten Zoo, kini sang kapten memandang wajah petualang satu persatu.

“Jogging joget… macam orang bodoh!” Anak laki-laki serempak sekali mengatakan hal itu. Kapten tertawa sedangkan anak perempuan begitu jengkel.

“Oi, Thoriq! Jogging itu buat diet. Kau tuh gendut, kuruskan badan dikit lah.” Pandai benar Aulia membalas serangan yang memalukan itu.

“Eh, aku ini kan berisi. Nggak kurus macam lidi, nggak gendut macam roti,” kata Thoriq mengembalikan serangan.

“Bersepeda,” lanjut Kapten Zoo. Semua pandangan kembali kepada sang kapten.

“Yang terakhir Gym.” Kapten Zoo menyebutkan olahraga yang terakhir.

Olahraga kali ini membuat seluruh anak laki-laki mengacungkan jempol. Jika anak perempuan menyukai Jogging, maka anak laki-laki menyukai Gym.

“Mantap. Buat kita guys…!” kata Asad membentangkan tangannya.

“Yeah…!” seru Ikrimah semangat.

“Kita tos dulu, Ikrimah…!” Asad menjulurkan telapak tangannya kepada Ikrimah. Mereka pun saling tos.

“Ayo kita bagi olahraganya.” Kata Kapten Zoo. Semua berbaris rapi lagi.

“Siapa yang mau menjadi kapten Pemanah?” tanya Kapten Zoo, kini kertasnya ada di tangan Letnan Hasan.

“Saya,” jawab Ikrimah sembari mengangkat tangan. Loh kenapa hanya dia yang menjadi pemanah?

“Kenapa kamu mau menjadi pemanah?” tanya Kapten Zoo.

“Karena memanah itu adalah sunnah Rasulullah.” Ikrimah menjawab singkat. Tumben banget dia kali ini tak memberikan dalil-dalil panjang.

“Tulis, San,” perintah Kapten Zoo kepada Letnan Hasan. Letnan Hasan segera menulisnya.

“Yang Berkuda?” tanya Kapten Zoo lagi.

Tiga orang yang menunjuk tangan. Asad, Omar, dan Nazira. Hah? Nazira?. Pasti seperti itu pikir petualang.

“Bagak sekali kamu Naz!” puji Khansa terkagum-kagum. Nazira hanya tersenyum-senyum.

“Kamu emang sudah pandai berkuda?” tanya Asad, dia masih belum percaya Nazira bisa berkuda.

“Hahaha! Kamu kira aku kaleng. Jumping pun aku bisa, mengendalikan dia agar menendang kepala orang pun aku juga bisa,” jawab Nazira sembari tertawa. Semua orang menggeleng kagum.

“Kalau kudanya galak gimana?” tanya Yazid mencari masalah. Tuh, kan. Setiap waktu ada aja yang mau dipermasalahkan oleh TJPM ini.

“Ada aja caranya untuk mengendalikan kuda galak,” jawab Nazira mengusap wajahnya yang sudah berkeringat.

“Apa?” tanya Yazid ingin tahu. Gini, nih Yazid. Masalah bakal nggak selesai sampai satu jam.

“Kepo…!” jawab Nazira sembari tertawa. Yazid hanya memiringkan mulutnya.

“Yang Jog…”

“Joget…!” Anak Laki-laki memotong pembicaraan. Mereka tertawa bersama.

“Jogging!” Kapten meninggikan nada suara.

Anak perempuan menatap anak laki-laki jengkel, tawa mereka masih belum berhenti. Uh… menyebalkan sekali.

Hampir semua anak perempuan yang menunjuk tangan untuk ikut dalam kelompok jogging. Sepertinya mereka semua merasa gendut… hahaha…^~^. Kertas putih kembali dicoret tinta. Letnan Hasan cepat sekali menulisnya, dia hanya butuh waktu delapan sampai sepuluh detik untuk menulis enam nama. Tangannya bahkan lebih cepat dibanding si komputer (Pantas sang kapten selalu membanggakan Letnan Hasan).

“Yang bersepeda?” Pendataan dilanjutkan kembali.

Lima orang yang angkat tangan. Aulia, Syifa, Khansa, Thariq, dan Syafiq. Lagi-lagi dengan sigap dan cepat letnan Hasan menulis nama. Siapa lah yang bisa mengalahkannya?

“Oi, Thariq ngapa kau mau bersepeda sama anak-anak cerewet itu?” tanya Yazid, dia jelas tidak serius, hanya mau mencari masalah.

“Dari pada aku diet lewat jalur joget, mending lewat jalur motor,” jawab Thoriq dengan wajah sebal. Kenapa Yazid menanyakan hal itu padanya? Itukan bisa membuatnya malu. Hiks….

“Haha…! ternyata benar, kamu emang gendut,” kata Yazid lalu tertawa terbahak-bahak. Tuh kan Yazid nggak pernah puas mengganggu orang.

“Mending kamu tanya ke Syafiq, kenapa dia yang kurus mau naik sepeda?” usul Thariq. Wajah Syafiq berkeringat, wajahnya lebih takut dari Thariq. Olokannya pasti lebih besar!

“Oiya! Kenapa, Fiq?” tanya Yazid memalingkan wajah ke arah Syafiq. Kali ini dia akan membuat masalah lagi dengan Syafiq.

Iba sekali melihat Syafiq yang tertunduk malu, bahkan Yazid pun sampai iba.

“Aku tidak akan telap mengangkat beban.” Suara Syafiq serak. Suara seraknya itu seakan-akan ajaib! Yazid hanya diam, dia tidak tega menyakiti hati Syafiq lagi. Tapi, bukannya dia yang berhasil berburu rusa?

“Siapa yang mau Gym?” Pendataan berlanjut kembali.

Sisah anak laki-laki mengangkat tangan. Kertas kembali dicoret.

“Oke, Ikrimah, ambil panah di ruang olahraga. Juga manset, ya… bilang saja ke Letnan Dani. Untuk sepatu pakai sepatu kamu saja,” kata kapten, Ikrimah hanya mengangguk.

“Untuk yang berkuda segera pergi ke belakang gedung papan ini. Di sana ada kandang kuda. Bilang saja sama Letnan Faiz kalau kalian masuk kelompok penunggang kuda,” perintah kapten, Nazira, Asad, dan Omar segera pergi.

“Ternyata di sana kandang kuda itu!” Yazid berkata dalam hati.

“Yang Jogging pergi ke ruang olahraga, minta baju untuk jogging juga sepatunya,” kata kapten Zoo lagi.

“Kalau pakai sepatu ini kapten?” tanya Ana sembari melihat sepatunya yang sudah dibersihkan dengan susah payah.

“Kalau pakai sepatu biasa nanti robek, nggak tahan,” jawab kapten.

Ana hanya mengangguk. Dia lebih sayang pada sepatunya.

Anak perempuan yang jogging pun pergi mengikuti jejak Ikrimah.

“Yang bersepeda, ambil sepedanya dekat aula di samping dapur. Di sana ada Jenderal Juwi yang menjaga,” kata kapten sembari menunjuk ke aula.

Pemain sepeda pun pergi. Kini tinggal yang masuk kelompok Gym.

“Kalian yang kelompok Gym, pergi ke ruang olahraga. Minta barbel disana. Sekolah petualang baru punya barbel,” kata kapten.

Mereka pun pergi ke ruang olahraga.

Ikrimah ke sebuah pohon. Di pohon itulah papan target digantung. Jarang sekali orang bisa menembak dengan cara seperti itu. kelompok jogging segera berlari kecil, jogging tanpa musik. Tapi mereka membawa penghitung langkah. Anak laki-laki kelompok Gym memamerkan kekuatan otot mereka. Tapi awal-awalnya mereka membuat lelucon. Yang bersepeda mendayung sepeda dengan kencang. Mereka seakan-akan sedang berlomba.

“Ehehek…” Suara itu memberhentikan aktivitas.

Tap, tap, tap. Bunyi sepatu kuda. Lihatlah Asad pertama kali memperlihatkan kudanya. Dia tampak tangguh sekali mengendalikan kuda. Lalu datang lah Omar dengan gaya bisa-bisa saja, tenang bagaikan aliran sungai. Setelah itu datanglah Nazira, gayanya seperti akan pergi berperang, pecutnya yang melayang di awang-awang membuat ngeri setiap mata memandang.

“Ummu Jahalah!” Yazid berkata pelan.

“Hus!” Syafiq menyenggol lengan Yazid.

Pluurrrt… Kapten Zoo meniup peluit.

“Ayo! Dimulai!!” Kapten Zoo mengepalkan tangan ke udara.

Mereka semua pun segera memulai olahraga. Laila segera memulai joggingnya. Berlari kecil mengitari lapangan. Yang bersepeda segera mengkayuh sepeda mereka, mereka malah balapan sepeda. Nazira, Omar, dan Asad mengelilingi lapangan berkuda, kuda mereka berlari kecil.

“Oi! Masa cuman gitu? Cemen kalian!!” teriak Yazid berusaha mencari masalah lagi.

“Katanya hebat…!” lanjutnya tak puas dengan perkataan yang pertama.

“Sabar dulu, dong…! Pemanasan!” Asad berusaha sabar.

“Nanti kalau sudah selesai pemanasan, akan aku suruh kuda ini gigit kamu,” kata Nazira ngikik.

“Nggak iya,” kata Yazid sebal.

Nazira tertawa, dia menjalankan kudanya lagi.

“Masuk, woi! Masuk!!” seru Syafiq girang.

“Masuk? Masuk apa?” tanya Yazid masuk ke dalam barisan teman-temannya.

“Kepo!” kata Amer tertawa.

Tag…!

“Masuk lagi!” teriak Syafiq lagi.

Yazid baru tahu, teman-temannya sedang melihat Ikrimah memanah. Keren juga Ikrimah memanah. Sekali lagi Ikrimah membidik anak panah, anak panah itu tepat mengenai titik hitam kecil yang berada di tengah papan panah.

“Kerren buangeet…!” Humairoh menghentikan joggingnya, melihat Ikrimah yang memanah dari kejauhan.

“Keren apanya?” tanya Ana dengan wajah datar.

“Ih… Humairoh salfok!!” kata Laila tertawa.

“Woi! Apanya yang keren?” tanya Ana lagi pada Humairoh.

“Papan panah sama busurnya, keren…! keren banget!” jawab Humairoh serius sekali.

Semua tertawa, Ana malah sampai terduduk di tanah.

“Ku kira, yang keren itu Ikrimah,” kata Ana setelah tawanya reda.

Mata Humairoh menatap Ikrimah serius, dia menyipitkan mata. “Nggak lah, nggak keren.” Humairoh berkata cepat.

“Emang menurut versimu, keren itu gimana?” tanya Amaroh menatap Humairoh.

“Seperti Boboiboy, Kapten Zak, Kapten Kaizo, Ejen Ali, Ejen Alicia, Ejen-” Perkataan Humairoh terputus.

“Dasar penggemar kartun! Udah, udah! Bosen dengernya…!” kata Ana mengerutkan dahi. Humairoh ngikik.

“Kalau dunia nyata, keren itu bagimu seperti apa?” tanya Laila kepada Humairoh.

“Emm….” Humairoh memikir, dia mengusap-ngusap dagunya.

“Setidaknya seperti Kapten Zoo dan Omar, T.O.P…!” lanjut Humairoh sembari mengacungkan jempol.

“Apanya yang keren?” tanya Haura heran melihat tingkah Humairoh.

“Jaketnya, mirip Sasuke.” Humairoh menjawab dengan riang.

“Tuh… kan! Kartun lagi…!” seru Ana menunjuk Humairoh tajam.

“Emang nggak boleh?” tanya Humairoh sembari menatap tajam ke arah Ana.

“Nggak, ntar nanti kamu jadi kartun.” Ana menjawab enteng.

“Kalau aku boleh-boleh aja, lagian aku suka jadi kartun,” kata Humairoh tersenyum kecil.

“Mana enak jadi kartun, ditonton terus,” bantah Ana.

“Enak…!” teriak Humairoh.

“Iya lah, tuh…?” tanya Ana tak percaya.

“Iya…!” jawab Humairoh dengan berteriak.

“Rasa apa?” tanya Ana lagi.

“Rasa… rasa-rasa,” jawab Humairoh.

“Iya, rasa apa?” tanya Ana lagi.

“Rasa-rasa…!” jawab Humairoh lagi.

“IYA, RASA APA?” tanya Ana berteriak.

“SEMUA RASA!!” Humairoh balas berteriak.

Sliiit… trag…!

“BIRA!!!!”

Semua terkejut, siapa yang berteriak? Kali ini yang berteriak bukan Ana atau pun Humairoh. Anak laki-laki yang tadi bersorak-sorak menonton Ikrimah terdiam, diam seribu bahasa. Bukan hanya karena teriakan tadi, tapi karena melihat darah di ujung anak panah. Seekor burung Beo biru tergeletak di tanah, menghembuskan nafas terakhirnya. Ternyata yang tadi berteriak itu adalah Laila.

Laila segera berlari ke arah burung Beo itu, disusul teman-temannya yang lain. Kapten Zoo yang mendengar teriakan Laila tadi segera keluar dari kantornya, ada apa?

Laila segera mendekap burung Beo biru yang tak memiliki nyawa itu lagi. Laila menangis, sekarang dia kehilangan Bira.

“Bira…” Air mata laila terus mengalir.

“Maafkan aku, aku tak sengaja,” Ikrimah mencoba meminta maaf.

“Ikrimah, kamu apakan Si Bira?” tanya Asad menjawil lengan Ikrimah.

“Tadi tiba-tiba saja ada burung itu di depan papan panah, kebetulan saat itu aku lagi meluncurkan anak panah, akhirnya salah sasaran,” jawab Ikrimah.

“Ada apa?” tanya kapten masuk ke dalam perkumpulan anak-anak.

“Bira mati kapten,” jawab Haura.

Kapten Zoo menatap Laila yang memegang Bira, tangannya berlumuran darah.

“Laila… mungkin sudah takdirnya, Bira mati sekarang, setiap makhluk di bumi ini kan, bakal merasakan mati.” Kapten Zoo menghibur Laila.

“Dari pada nanti jadi bangkai busuk, mending dikuburin sekarang, ya?” lanjut Kapten Zoo.

Laila mengangguk saja, sebenarnya dia masih sedih, dan ingin bersama Bira terus. Tapi benar kata kapten, jika tidak segera dikuburkan, maka bangkai Bira akan membusuk.

Mereka pun menggali lobang, lalu menguburi bangkai Bira. Laila menatap kuburan itu sedih, sekarang dia tak punya teman.

“Sudah, Lai… jangan sedih, kamu nanti kan bisa cari burung baru.” Haura menghibur, dia mengusap punggung Laila.

Mereka pun segera bubar, termasuk Laila.

“Bira… kenapa kau pergi…?” tanya Laila lirih.

“Aku di sini… aku di sini…!” Tiba-tiba ada suara yang mirip seperti Bira. Asal suara itu dari atas.

Semua mendongakkan kepala. Terkejut melihat seekor burung Beo biru yang terbang di atas kepala Laila dengan bebas.

“Bi… bi… Bira…!” Laila kaget bukan main.

“Oi? Mataku nggak salah lihat kan?” tanya Yazid mengucek-ngucek matanya.

“Apa ini mimpi?” tanya Asad ternganga.

“Sini, coba aku cubit,” kata Omar segera mencubit Asad.

“Auu…!” seru Asad.

Bira segera bertengger di pundak Laila. Laila langsung mengambil Bira dari pundaknya.

“Aku ingat, Bira sejak lahir di dadanya ada bercak warna putih, akan aku cek sekarang,” kata Laila segera memeriksa dada Bira.

“Ini Bira yang asli…!” seru Laila segera mengangkat Bira tinggi-tinggi.

Semua tersenyum lebar, senang.

“Aku sudah yakin tadi itu bukan Bira yang asli, nggak mungkin Bira bodoh, bunuh diri sendiri,” kata Ikrimah.

“Loh, otak burung itu bukan otak manusia…!” kata Amaroh.

“Sudah deh, cukup dramanya, lebih baik dimakan tadi burungnya!” kata yazid segera mengambil barbel.

Mereka pun melanjutkan olahraga lagi dengan ceria.

marathon-09 Farih

Mendol Malang

Teman-teman tahu, tidak?mendol adalah makanan tradisional Malang, Jawa Timur. Bahan utamanya adalah tempe. Tempenya diuleg bersama bumbu lalu dibentuk sekepal-sekepal dan digoreng.

mendol sebenarnya pedas, tapi karena aku tidak suka pedas. mendol yang kubuat tidak memakai cabe he..he..

bahan-bahan

tempe 200 gram

satu siung bawang putih

tiga siung bawang merah

satu lembar daun jeruk

ketumbar dan garam

cara membuat

uleg atau haluskan semua bumbu. Lalu bumbu yang sudah halus diuleg bersama tempe. setelah halus, bentuk adonan mendol dengan tangan, terserah teman-teman ukurannya. kalau aku suka kecil-kecil karena jadi banyak. he..he

goreng samapi matang. sajikan

aku belum boleh menggoreng sendiri sama Umi. Jadi tugasku adalah uleg-uleg dan kepal-kepal.

marathon 09-Aqil

Aku merasa lebih cepat lelah merasakan panasnya musim kemarau di Wonosari. Sepertinya ini adalah puncak dari musim kemarau. Aku merasa matahari ada dua. Tapi itu tidak mungkin terjadi.

 Pohon-pohon meranggas. Daun-daun mengering berjatuhan. Tanah tanah retak. Para petani gagal panen. Hewan hewan ternak kurus.Aku melihat tak banyak anak anak seusiaku. Mereka tidak keluar rumah karena cuacanya sangat panas.

Aku kembali menuju ayah.

“yah boleh gak aku kesumber mata air “tanyaku sambil melap keringat yang dari tadi mengalir dari dahiku.

”boleh.tapi ayah temani ya?.”jawab ayah.

”rebes, Yah!”kataku sambil mengacungkan jempol.

Aku  pun segera mengikuti Ayah mencari sumber mata air

 “ Tempat itu sangat jauh dari sini. Baiklah, Ayah tunjukkan tempatnya.”kata ayah. Ternyata jarak sumber air dari sini kesana sangat jauh.

”Itu sumber air” kata Ayah sambil menunjuk kearah sebuah mata air. Aku langsung berlari kearah yang ditunjuk oleh Ayah. Sebuah cekungan tanah seperti waduk dangkal yang berisi air keruh. Aku tak membayangkan Afra harus berjalan jauh membantu ibunya mencari air. Karena sumur-sumur penduduk sudah kering.

“Wah!.Alhamdulillah sudah masuk waktu dzuhur” kata Ayah sambil melihat jam tangan miliknya. Kami bergegas kembali ke dekat tempat parkir mobil.

 Uh! Ternyata kalau menggunakan keran dimasjid ini juga harus irit. Aku shalat dzuhur berjamaah dimasjid dekat tempat Ayah memarkir  mobil Ayah dan ibu.Dari tadi Aku tidak melihat ibu.Setelah Aku Shalat Dzuhur, Aku berencana mencari ibu.Namun saat Aku mencari Ayah untuk menanyakan dimana ibu, aku tidak menemukan ayah.

aku menemukan Ibu di tempat shalat perempuan.”Bu,Ayah dimana?kok Aku cari gak Ada?”Tanyaku ketika jarakku sudah sangat dekat dengan ibu

”Ayah sedang mencari rumah pak hasan.”jawab ibu sambil melihat jendela yang menghadap keluar musala. Karena penasaran, akupun bertanya “siapa pak hasan? penduduk setempat?”

“Pak hasan itu adalah relawan yang dulu banyak membantu desa  kakek dan nenek saat ada bencana Tsunami di Meulaboh. Kehidupannya sendiri tidak mudah ,tapi karena jiwa kemanusiannya dan  perhatian pada saudara sebangsa juga jiwa suka menolong. Dia menolong orang tanpa pamrih.  kKakek memberikan amanah pada ayah untuk mencari pak Hasan dan menyampaikan salamnya”terang Ibu.

”Lho,darimana Ibu tahu?Kan ibu tidak kesana waktu itu “tanyaku  keheranan.”ibu diberi tahu ayah ,nak”kata ibu sambil melipat mukena. Aku kembali mengingat saat aku membantu nenek menyiapkan makan malam.

Dan waktu aku membantu nenek,Ayah dan kakek berbincang bincang serius menyebut nama desa dan nama seseorang yang kini aku tahu itu adalah desa Wonosari , desanya pak Hasan.

Sekitar 1jam kemudian ayah datang lagi”gimana yah?ketemu pak hasan?”tanya Ibu ketika melihat Ayah diluar masjid.”belum ,bu.

pak hasan ke kota Klaten untuk mencari pekerjaan.”Jawab ayah.

Para laki-laki di dusun ketika musim kering, sulit bertani maka mereka mencari pekerjaan di kota. Beberapa menjadi kuli bangunan, tukang becak atau buruh. Sedangkan perempuannya di rumah menjaga anak dan ternak. Aku sungguh berharap musim hujan segera tiba.

Hujan Datang seperti Tandu

(Aqil Shidiq Hammami)

Hujan datang seperti tandu

Menyejukkan hatiku

Tandu membawa syukur

membawa harapan

Membawa keberkahan

Membawa kasih sayang

Membawa puji-puji pada Ilahi

Amanah wakaf sumur belum bisa segera dilakukan kata Ayah.  Ayah harus meminta bantuan lembaga Global Wakaf untuk menyediakan mesin bor khusus karena tanah di daerah Wonosari sulit ditembus bor biasa. Tanahnya banyak mengadung batu. Ayah juga harus mencari pak Hasan, kata ayah pak Hasan bisa menghubungkan kami dengan penduduk desa.

Marathon 09 – Tiara

Chapter 14: The Foster Care system and Issues

Cycil

                “So… are you really going to let her do this? How do you know this will even work?” Arthurs says as he enters the driver’s seat and shut the door behind him. I sigh before shaking my head.

There is no guarantee that Marjorie will get a better family and there is no guarantee that Peter won’t be moved as well, I don’t even know why they’re both in a group home, Peter is violent sure, but I don’t think he is so violent that adults can’t handle him. I can handle him and I’m 18.

I look to the side to Arthur giving him tired look. I’m not an expert but I have researched about the foster care system, none of them can help me now.

“You’re actually going to let her leave?” I jump as Francis head pop up beside me. I hit him before sighing. I shift around so that I’m leaning against the door and facing the two. I raise my elbows and look outside.

“A foster child can ask to be moved from where they’re currently living by contacting their DCF worker and a lawyer, give them the reason and the up and down. But that’s what about it, the rest is up to them and the government.

“What I’m scared of is not losing only one twin but both twins. Because sometimes a child would move so that they can be closer to a sibling or both of them are moved out together into the same family, if that’s the case then we’ll lose both of them” I say remembering the book about Foster care I had read a few months ago, that must be where Marjorie got the idea from.

Arthur groans as he hits his head on the steering wheel.

“So basically if Marjorie moves there’s a chance that Peter would move too, then we’ll lose both of them and who knows what kind of people would foster them” Francis asks sounding frighten. I shrug as a respond, basically yes, who know how many times they’ll move too.

The group home is the last resort, if the kids need 24 hours surveillance then it’ll be good for them but 40% of the kids in group housing has no reason to stay there.

“So they can just pull those two out and toss them where ever they like? Even out of the country?” Francis asks again.

I raise my shoulders, maybe? Who knows, it could happen. The way I look at it the government is like the sea, it shifts around throwing everything that’s on top of it, the cities, the towns, the poor, the rich. We try to avoid that part of the sea, almost everyone does, but some get drag in, some die, some disappear, some became insane.

The foster care system –no the abandoned kids, the troubled teenagers, those who are deemed as too young and useless, stays in one boat rocking every day and night some fall and die, some gets thrown out into the raging sea to disappear, some gets rescued and put into another boat with less struggles and some just stay.

‘We stay’ I thought ‘me, Arthur, Francis maybe even Mephisto, we stays on the boat forever. The twins has an opening to another boat, covered in smoke and barely visible but definitely there.

‘Peter hates that boat, he despises it with all his being even though it can save his life. Marjorie on the other hand is trying to reach out, to get into the boat and to leave this one behind. To get a chance like the normal kids born into normal family living normal lives.’

Arthur puts his feet up onto the ceiling of the van and twist around so that his face is on the ground and his feet are up.

“Well now what? We go to a jury? A lawyer? A governor?” He asks. I look out to the forest surrounding us, I’m glad I found this camping ground.

I start thinking.

We’ll need to find out who Marjorie’s DCF worker is, then her lawyer, probably have to write something up, get an adult to sign or something, I can, Arthur can, but probably the Old Man.

‘They move kids around so they can be close to their sibling, Pete and Mar are twins, they can just decide that they’ll move them somewhere else-‘

“Or back to France” I realise. I start biting on my fingers, start trying to hear things, get my mind off that possibility.

There’s an owl.

There’s scratching, pawing.

I can hear a fire burning.

Strong winds tonight.

“Do you think we’ll be allowed to visit them? Or even have contact with them” Francis asks sitting down on the floor, in between me and Arthur’s chair. I stay silent as my mind wonders off.

“What if they forget about us?” He asks again.

Then they’ll forget about is in five years, they’ll forget about their childhood in Waterloo and just be whatever they want to be without the memories of us ever being in them.

The Foster Care System is trying their best to give kids the normal lives everyone has the right too, but why does that seem so evil to me?

If Peter is happy here even if it’s dangerous shouldn’t you let him? He is happy with us and he is happy in Waterloo.

‘I’m just being selfish aren’t I? Then again don’t I have the right to be selfish? This is making my head hurt’ I thought leaning my head onto the window.

We stayed silent for a long time, sitting there and thinking about what to do now.

“Guess this is what a family feels like if someone dies huh? You ever felt like this Art?” Francis asks, my eyes widen before I kick his head. Arthur hates talking about family and if he blows up right now we’re all dead.

“…When I was a kid my grandparents died… maybe that? I barely remember that” Arthur says. I hum, he is sad. I can just tell it. He continues on “Anyway, we’re going to have to do all that and hope that Peter doesn’t get drag into it right? I mean come on, what can we do?”

“Group homes aren’t meant to be for foster children, those places are crowded, underfund and is the last resort. So they might overlook Peter, or I may be hoping for too much” I say. I hear Francis snorts as he leans is head back and look at me in the eyes.

“From what I always see, hoping for things like these are useless, it’s either you take action or you won’t get what you want” Francis says. I forgot he used to live in the orphanage.

“Hey also question, why do we call the group home orphanage?” He asks. I smile at him, amuse that he forgot.

“You used to insist that it’s an orphanage and not a group home, you refuse to call it anything else except Orphanage or jail” I tell him amuse. Francis look away thinking. I watch as his face turns from confusion to remembrance and to realisation.

“So it’s not an orphanage.”

I chuckle as I roll my eyes.

“Well now you know” I tell him, then suddenly I thought of something, “so you have any issues you want to settle like the rest of us? Arthur has that issue with George, the twins have… well that, and I have to research so much, might as well settle everyone’s issue while I’m at it.”

“I’ll get back to you on that” Francis says as he stands up and walks to bed. I chuckle as I look down on Arthur. He is staring blankly ahead to the wires below the steering wheel. I shook his leg and he glances up.

“You okay Champ?” I ask.

“This is way too much stress for a vacation.”

“Never said it was a vacation.”

Marathon 02 – Angga

Bab 2 – Kejadian Di Bandara

Apakah kalian tahu hari ini tanggal berapa? Ya pastinya Jum’at 17 Oktober. Ini adalah hari yang ditunggu tunggu oleh Fahmi dan Fahima, Mereka akan pindah ke Kota Jakarta. Dan ini adalah pengalaman pertama mereka naik pesawat. Sekarang mereka sedang berada di Bandara Juanda.

“Umi, Fahima kebelet buang air kecil nih!” kata Fahima sambil meloncat loncat karena tak tahan lagi.

Abi melihat jam tangannya, pesawat yang akan mereka tumpangi akan datang 10 menit lagi.

“Ya sudah, Fahima buang air kecilnya jangan lama – lama ya!” Kata ayah cemas.

“Iya Abi!” Fahima langsung mengamit tangan Umi mengajaka segera ke kamar mandi bandara.

4 menit berlalu…

“Abi, Umi dan Fahima kok belum datang juga ya?” tanya Fahmi degan nada cemas. Ia takut kalau sampai Umi dan Fahima tidak datang saat pesawat akan berangkat.

Tiba tiba terdengar suara dari speaker bandara…

“Mohon maaf, pesawat menuju kota Jakarta akan di delay selama 30 menit” terdengar suara petugas angkasapura.

“Aneh…” kata Abi sambil mengernyitkan dahi.

“Biasanya di beritahu 1 jam sebelumnya…” sambungnya lagi.

“Nah, itu dia Umi dan Fahima!” seru Fahmi.

Terlihat dari jauh Umi dan Fahima berjalan tergopoh gopoh, takut benar ketinggalan pesawat.

“Pesawatnya sudah datang?” tanya Umi.

“Belum, pesawatnya masih di delay selama 30 menit” kata Abi sambil menjelaskan kenapa pesawat yang akan mereka tumpangi belum datang.

“Eergh… Umi, Fahima mana ya?” tanya Fahmi sedikit cemas.

Menurut perasaannya tadi ada Fahima di belakang Umi saat berjalan tergopoh gopoh dari kamar mandi bandara, sekarang Fahima tidak ada di depan mereka.

“Astaghfirullah, mana Fahima!” seru Abi dan Umi kaget mandengar kata kata Fahmi barusan.

Umi sudah pucat dan berpeluh. Kehilangan anak itu sangat menyedihkan, apalagi yang hilang anak perempuan masih usia 10 tahun.

“Ya sudah kalau begitu ayo kita cari Fahima!” Ujar Abi dengan tegas.

Fahmi sudah menangis takut kehilangan adik sematawayangnya yang cantik itu. Mareka serius mencari Fahima.

***

5 menit berlalu…

Bola mata Fahmi berputar ke segala arah, berusaha mencari dimana Fahima. Tiba tiba mata Fahmi tertuju ke sebuah took es krim, dan rupanya Fahima ada di sana Bersama seorang petugas kebersihan bandara. Disana terlihat dengan jelas, Fahima sedang memakan es krim yang ada di tangannya.

“Hei, Fahima! Ngapain kamu di sana” Fahmi berbisik kepada diri sendiri.

Fahmi semakin mendekati meja yang di pakai oleh Fahima.

“Oh, ini adik kamu ya?” tanya pemuda yang duduk di sebelah Fahima.

“Iya mas, ini adik saya” Jawab Fahmi.

“Saya mohon maaf ya dik, tadi adikmu ini berjalan sendirian, kemudian saya tidak sengaja menabraknya, karena terlalu pendek jadi saya tidak melihatnya.” Kata pemuda itu menjelaskan.

“Oo… jadi begitu…” kata Fahmi

Halo, assalamualaikum semuanya

Mohon maaf, ceritanya belum selesai, mungkin akan dilanjutkan besok atau minggu depan.

sekian dari saya, wassalamualaikum

Marathon 09- Syamsiah

ANTARA RUMAH UMMI ATAU NENEK IDA?

Hari senin, Mammy selalu membangunkan kami lebih awal. Katanya Mammy harus ikut upacara bendera jadi tidak boleh terlambat. Aku masih mengantuk, tapi Mammy terus saja membujukku untuk bangun. Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur, membawa bantal gulingku keluar kamar dan melanjutkan tidur di ruang keluarga.

Kudengar Mammy masih sibuk di dapur, baru saja ingin melanjutkan tidur Tettah sudah menyuruhku bersiap-siap untuk mandi. Ahh… padahal aku maunya libur saja, tidak usah sekolah.
Kakak Fatih juga sudah bangun, dia langsung ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mandi. Aku masih memeluk bantal gulingku.
“ Faiqah, ayo mandi sekarang, sudah jam 6 lewat loh” mammy tiba-tiba sudah ada di depanku.
“Sebentar lagi Mmy…” rengekku pada Mammy.
“Hari ini senin loh… Mammy harus upacara di sekolah, ayo bekalnya sudah Mammy siapkan”
“Ayo Faiqah…” Tettah datang lalu menggendongku.
Tettah mendapat tugas memandikanku setiap hari, karna Mammy harus menyiapkan bekal untuk kami. Sebenarnya Aku bisa mandi sendiri tapi Tettah dan Mammy tidak mengizinkanku karna biasanya aku suka berlama-lama dikamar mandi, mandi sambil bermain sabun, dan menggunakan shower yang biasa kusebut dengan mandi hujan.


Kami sudah bersiap, Kakak Fatih dan Mammy juga sudah rapi. Tettah mengantar kami ke sekolah, karna Mammy harus berangkat ke sekolah tempatnya mengajar. Tettah juga kerja, tempat kerjanya jauh tapi dia harus mengantar kami kesekolah dulu sebelum lanjut ke kantor. Pulang sekolah, kami akan ke rumah Ummi. (Ummi adalah Ibu dari Mammy), kami menunggu Mammy pulang sekolah. Mammy pulang sekolah biasanya pukul dua siang, jadi kami bisa bermain berlama-lama hingga Mammy menjemput kami. Sedangkan Tettah pulang pukul empat sore.


Kulihat Tettah kebingungan, karna Kakak Fatih mau pakaian ganti kami disimpan di rumah Ummi saja, sedangkan Aku maunya di rumah Nenek Ida. Rumah Nenenk Ida lebih dekat dari sekolahku dan aku suka bermain di rumah nenek ida karna nenek ida tidak pernah memarahi kami. Fatih lebih suka bermain di rumah Ummi karna disitu ada Tante Nadia, Kakak Fatih bisa pinjam hape dan bisa nonton video atau main game . Padahal Mammy sudah melarang kami bermain hape.

Kata Mammy, kami belum boleh bermain hape, nanti mata kami bisa rusak, semalam Mammy memperlihatkan foto seorang anak yang matanya merah karna sering menonton di hape. Tapi kalau sudah besar nanti baru boleh, tapi Aku dan Kakak Fatih biasa pinjam hape milik Tettah, kami nontonnya bersama Tettah kok, biasanya Tettah suka menonton video menyanyi. Kalau Kakak Fatih lebih suka Lego Batman atau pahlawan super. Aku lebih suka nonton video masak-masak.
Mammy terkadang mendownload video untuk kami nonton di TV, ada beberapa film kartun seperti serial Upin-Ipin, Doraemon, robot super hero, video masak-masak, atau lagu anak-anak. Terkadang aku dan Kakak Fatih juga membuat video loh, Mammy sendiri yang akan merekammnya. Kakak Fatih membuat Video bagaimana cara memasang lego menjadi berbagai macam bentuk. Sedangkan aku lebih suka membuat Video masaka-masak. Diakhir video kami biasa mengucapkan “jangan lupa subscribeyah teman-teman” padahal kami tidak memiliki channel you tube hehehehe.


Akhirnya Kakak Fatih menangis, dia memang gampang menangis sih. Aku juga ngambek nggak mau mengalah, pokoknya aku mau di rumah Nenenk Ida saja. Tettah semakin bingung, lalu ada Mammy lewat dan melihat kami masih berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Mammy pun menghentikan motornya.

“Mereka kenapa Ttah…?” tanya Mammy pada Tettah
“ Faiqah mau singgah dirumah Nenenk Ida kalau pulang sekolah, Fatih maunya di rumah Ummi saja, bagaimana ini?” lapor Tettah
Mammy turun dari motornya dan berjongkok mencoba membujuk Kakak Fatih.
“Dirumahnya nenek Ida dulu di nak, baru nanti kerumahnya Ummi” Bujuk Mammy
Kakak fatih masih menangis, aku takut-takut melihatnya, Mammy lalu berbalik kepadaku
“Kalau begitu Faiqah yang kerumah Ummi yah” Mammy juga membujukku. Aku tidak menjawab, tapi wajahku cemberut, “Pokoknya Faiqah mau ke rumah nenek Ida saja pulang sekolah” kataku sambil menangis.
Sepertinya Mammy sudah tidak sabar, sedikit lagi dia akan marah. “Baiklah… keputusan Mammy, kalian singgah di rumah Nenenk Ida setelah ganti baju Fatih boleh ke rumah Ummi sendiri. Okey, Mammy harus berangkat sekarang nak. Sudah jangan menangis lagi, masuklah dikelas” Mammy sudah mengeluarkan keputusan Aku tidak bisa lagi membantah. Aku berusaha menghentikan tangisku, kulihat Kakak Fatih mengusap air matanya, dan berjalan menuju kelas. Akupun mengikutinya dari belakang.
Masih kudengar Mammy berteriak “Belajar yah Nak, Mammy ke sekolah dulu”


Masalah selesai sampai disini. Kami masuk kekelas untuk bermain dan bernyanyi. Setiap hari itu adalah hari yang menyenangkan. Kita harus bersyukur setiap harinya karna nikmat Allah yang luar biasa. Jadi jangan terlalu sering menangis. Menangis membuat hari-hari menjadi tidak menyenangkan. Meskipun baru saja Aku menangis, tapi Aku bisa langsung ceria kembali. Habis menangis ketawa lagi... habis menangis ketawa lagi. Sepotong lagu yang biasa kami nyanyikan ketika salah satu dari kami menangis.:-)

Marathon 09 – Taqiyya

“—begitulah…” kata Emmely. Aku mendelik. Kenapa Ia merahasiakannya?

“Apa itu “Para Penjaga Pintu”?” tanyaku. Aku benar-benar bingung. Memangnya pintu apa yang dijaga?

“Para Penjaga Pintu merupakan istilah bagi orang-orang yang memiliki kemampuan membuka portal. Bisa portal yang masih di dimensi yang sama ataupun portal ke dimensi lain.

Penjaga Pintu pertama merupakan Bob Mickey, yang hidup sekitar tahun 1819, alias 200 tahun yang lalu. Dulunya, dia menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan, hingga pada suatu saat, ambisi untuk menjadi penguasa dunia menodai hatinya.

Dia rela membunuh siapapun demi kekuasaan atas dunia ini. Roh yang memberikan kekuatan tersebut murka. Bob dikutuk. Rumor mengatakan, Ia akan abadi jika tidak dibunuh oleh orang yang hatinya masih bersih.

Selama ini, Bob tersegel pada sebuah pulau di dunia gaib ini. Dia bangkit seratus tahun sekali hingga ada yang membunuhnya. Seratus tahun yang lalu, Ia memporak-porandakan dunia kami.

Ia juga memancing pertarungan antar kerajaan, yang berakibat serius dalam banyak hal, cotohnya dalam hal perdangangan. Bob mengutus Tentara Bayangannya untuk merampok kapal dagang suatu kerajaan di wilayah kerajaan yang lain.

Waspadalah. Tahun ini, Bob akan kembali. Kepulauan Costipou sudah mempersiapkan segalanya untuk meminimalisir kerusakan. Beberapa Pawang Naga telah disewa dengan gaji besar, guna mengajak kerjasama para naga.” Ujar Emmely panjang lebar. Bagaimana Emmely dapat mengingatnya? Penjelasan yang amat panjang.

“Sedangkan apa definisi sesungguhnya dari peri?” tanyaku antusias. Beruntung otakku masih memiliki ruang untuk jawaban dari pertanyaan ini. Emmely menjawabnya.

“Peri juga diciptakan oleh para roh. Kami, bangsa peri, awalnya ditugaskan untuk menjadi petunjuk arah dan peghibur bagi para manusia. Tetapi, karena satu dan lain hal, kami memutuskan untuk tidak lagi hidup berdampingan seperti dulu. Sebenarnya, ribuan tahun yang lalu, teknologi sudah lebih berkembang dari saat ini—”

“Tunggu! Bagaimana kau tahu teknologi kami?” selaku.

“Meskipun tak lagi hidup berdampingan, kami tetap mengawasi perilaku manusia. Jangan salah, para penduduk bahkan memiliki akun sosmed dan blog masing-masing.” Ujar Emmely.

“Baik, Emmely, cukup! Kau membuat otakku hampir pecah!” candaku. Emmely tertawa lepas.

“BA!” sebuah suara keras mengagetkanku.

“Astaganaga! George! Berhenti mengagetkanku seperti itu!”

***

“Oh… Kau sudah mendengarnya?” tanya Crystall. Ia tampak sedikit mengantuk. “Aku sedikit tak percaya pada awalnya. Huft… Kita tersesat di “Antah Berantah”. Dan sekarang, kita dicari oleh sosok misterius bernama “Black Shadow”. Dunia macam apa ini?!”

“Dicari oleh sosok—eh, bagaimana kau tahu?” tanyaku penasaran. Tapi, tunggu… Mengapa kami dicari oleh Black Shadow? Kami bahkan belum melakukan “suatu apapun” di sini. Aku mengangkat alis sebelah kiriku.

“Ohya, aku belum menceritakannya ya? Kami mengunjungi penyihir di padang rumput “dekat sini”, atau paling tidak, begitulah kata Kak Ginko. Tadi, Kak Ginko menyusul kami setelah kau siuman. Penyihir yang kami temui masih amat muda dan tampan. Namanya Justin. Justin mengatakan, “Berhati-hatilah, kalian sedang dikejar oleh Sang Penguasa Kegelapan. Dia telah dilepas oleh para bajak laut yang tidak tahu tanggung jawab”.” Ujar Crystall.

“Jadi, kau menyukainya?” tanyaku sambil tersenyum jahil. Aku memang tidak seusil George, tetapi, tetap saja aku mempunyai jiwa usil yang diwariskan secara turun-temurun di Keluarga Grace.

“Menyukai apa? Tentu saja aku tidak menyukai berita itu!” kata Crystall yang tampak bingung.

“Bukan beritanya yang kutanyakan. Maksudku si Pembawa Berita. Alias Penyihir Muda yang Tampan.” Pertanyaanku dijawab dengan baik oleh wajah merah Crystall. Hihihi!

***

Sukses menggoda Crystall membuat hariku sedikit lebih cerah, apalagi dengan ajakan berjalan-jalan ke pantai. Buka “jalan” dalam artian yang sebenarnya. Kali pertamaku menunggangi naga. Naga! Ya ampun, naga merupakan hewan mistis kesukaanku setelah Pegasus.

Aku memiliki sebuah boneka Pegasus yang kuberi nama PEGASY. Itu boneka dari hadiah ulang-tahunku yang kelima. Kok jadi membicarakan PEGASY sih?.

Naga yang kutunggangi memiliki kulit berwarna hitam pekat dan berkulit kasar. Aku duduk di pelana yang dipinjamkan oleh Emmely. Sensasi menaiki naga hampir sama dengan ketika menaiki kuda. Meskipun—tentu saja—lebih sulit menjaga keseimbangan. Crystall yang masih ketakutan akhirnya memutuskan ikut menaiki naga Emmely.

Perjalanan amat menyenangkan, apalagi dengan pemandangan yang menyejukkan di sekitar. Beberapa kali kami melihat makhluk mistis. Seekor Unicorn menoleh ke arah kami. Juga ada kucing kepala tiga yang aneh, menggelikan, dan menyeramkan.

“Wah, indahnya!” gumam Crystall kagum. Dia begitu menikmati pemandangan. Tiba-tiba, naga itu berbelok sedikit. Crystall yang tidak berpegangan terjatuh seketika.

“Kyaaaaaaaaaaaaa!” jerit Crystall panik. Emmely berusaha menggapai tangannya, tetapi Crystall terlanjur jatuh.

Aku menoleh panik. Aku tak tahu apakah naga ini bisa melakukan manuver yang cukup untuk menggapai Crystall. Aduh, bagaimana ini?

“Hup!” Emmely meloncat dari naganya. Sayapnya terbuka lebar. Angin begitu kencang, aku mulai khawatir. Bagaimana jika Emmely malah terseret angin?

“Tak usah khawatir, Belinda. Dia masih dapat melakukan manuver 180 derajat untuk menolong temanmu.” Ujar Kak Ginko yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Eh? Manuver 180 derajat?