Darah Di Ujung Anak Panah
Cahaya putih di ufuk, saat itulah adzan berkumandang dan bel berbunyi nyaring. Sudah biasa seperti itu di sekolah petualang. Suara adzan dan bel itu selalu mengundang wajah cemberut dan rasa jengkel petualang. Eh, tapi kali ini berbeda banget. Petualang justru menyambut dengan wajah ceria dan rasa senang yang luar biasa. Wah, ini adalah keajaiban dunia yang kedelapan!
Mereka menjalani pagi itu seperti biasa. Mandi lalu shalat, tapi hari itu keributan tetap ada walaupun sedikit tenang. Terus mencuci baju. Nah, di sini nih keributan yang ampun…. sampai bergulat! Hanya karena keributan antara Nazira dan Syifa. Bukan soal Syifa menunda mencuci baju, bukan pula karena pemberontakan Syifa (Yah, mana ada yang berani berhadapan dengan Nazira apa lagi berontak. Nazira mah dia bilang mau jadi TNI kelak ketika besar nanti makanya gayanya begitu, ah dia kan memang cocok jadi TNI). Hari itu terjadi keributan karena Syifa bermain-main. Dia mengambil kaus kaki Nazira, lalu berlari-lari dengan maksud agar Nazira mengejarnya untuk mengambil kaus kaki. Nazira mengejar, tapi justru Syifa tambah bermain-main. Yang lain mencoba membantu. Anak perempuan pun terbagi menjadi dua, tiga pendukung Nazira dan lima pendukung Syifa. Laila dan Haura menjadi pendukung Nazira. Mereka kalah saingan.
“Ngapa kellen sebelahan dengan orang salah.” Logat asli Aulia bicara mulai terdengar.
“Yee, emang harus sebelah Nazira terus apa?” tanya Ana santai.
“Tapi kalian itu memihak kepada yang salah, nggak benar loh! Lagian kan Nazira sudah diangkat jadi ketua perempuan, dia diangkat karena dia itu selalu benar,” jawab Laila.
“Berarti kalian berontak tuh!” tambah Haura.
Semua pendukung Syifa saling pandang, ada benarnya juga kata-kata Laila tadi.
Mereka lalu berpindah dan bersebelahan di samping Laila.
“Apa-apaan nih?” tanya Syifa ling lung.
“Kami harus berpihak pada yang benar,” jawab Humairoh, kini Syifa salah tingkah. Giliran dia yang kalah saingan. Lucu sekali rasanya melihat Syifa salah tingkah.
Mungkin karena sudah putus asa, tak ada lagi cara untuk menang selain melempar kaos kaki Nazira jauh-jauh. Mungkin cara itu lebih menguntungkan dia selain berdamai. Padahal letnan Sufi pernah bilang, “Petualang itu selalu berdamai jika dia bersalah, karena kedamaian itulah yang terbaik dan menguntungkan.”
Jenderal Aliyah juga pernah mengatakan hal yang hampir sama, “Berdamai adalah jalan keluar yang terbaik dari masalah. Selain berdamai yang terbaik adalah pasrah atau sabar, berdoa atau memohon. Jika kita seorang pemimpin, lalu ada orang yang memberontak kita, maka pilih lah dua jalan keluar dari masalah tersebut, berdamai atau perang. Tetapi berdamai adalah cara yang paling baik.”
Hmm, mungkin Syifa tak dengar nasihat itu. ya, dia memang tak mendengar. Kan saat itu dia sedang bermain dengan gelangnya.
Lemparan Syifa meleset. Eh, kaus kaki Nazira jadinya masuk dalam kloset. Aduh, Nazira jadi marah besar, sekarang dia memukul Syifa. Syifa pun balas memukul. Terjadilah perkelahian hebat, Nazira VS Syifa.
“Cepat panggil kapten atau letnan,” perintah Laila pada Aulia, dia sudah tegang melihat perkelahian itu.
“Atau jenderal, atau… siapa ajalah. Cepat!” Tambah Enisya, matanya tak berkedip sedikitpun dan badannya mematung.
“Biar Amaroh aja yang panggil,” sahut Amaroh, belum sempat di iyakan Amaroh sudah pergi secepatnya.
Bukannya memanggil kapten atau letnan atau jendral, Amaroh malah memanggil anak laki-laki. Dia pergi ke kamar mandi anak laki-laki. Ternyata mereka juga sedang ribut. Tapi nggak seribut anak perempuan.
“Nih, cuci bajuku sekalian,” kata Yazid sambil menghempas bajunya ke cucian milik Thalhah.
“Kamu pikir aku ini siapa?” tanya Thalha sembari menatap Yazid tajam.
“Asisten noni-noni atau biar keren dikit ‘Asisten Yazid bin Nibaz’ eyak… keren tuh,” jawab Yazid tersenyum lebar.
“Ihh, yang itu cuman bercanda. Aku nggak mau jadi asisten kamu, apalagi asisten noni-noni. Aku nggak mau diatur,” kata Thalhah penuh rasa jengkel, dia mengembalikan baju-baju kotor Yazid.
“Hidupkan punya aturan, kita juga harus diatur. Kalau tidak nanti ikut aliran sesat.” Yazid menasehati sembari mengambil kembali bajunya dari tangan Thalha. Thalhah hanya mangguk-mangguk saja dinasehati.
Yazid mulai jahil lagi, dia ambil kesempatan. “Tapi jadi asisten noni-noni itu penting untuk Thalhah. Buat Thalhah ya, bukan yang lain.”
“Hah? Mengapa?” Asad mulai ikut campur, dia pura-pura bertanya.
“Supaya Thalhah nanti punya banyak uang!” Kata Yazid tertawa terbahak-bahak.
Tapi tak ada yang menyambut tawanya. Thalhah juga tak marah. semua pandangan beralih kepada seorang gadis yang terengah-engah di ambang pintu.
Yazid jadi salah tingkah. Mengapa kejahilannya kali ini tak berhasil? Dia menghadap ke belakang. Oi, ada gadis asal inggris!.
“Benar-benar kalian ini. Hanya karena noni kecil itu, kalian sempat mengabaikan aku?!” kata Yazid setengah bercanda.
Tapi untung tak ada yang ambil peduli padanya.
“Ada apa Maroh?” tanya Omar dengan lembut, dia tahu kalau Amaroh punya kabar buruk atau baik.
“Kalian semua harus ke tempat anak perempuan,” jawab Amaroh dengan nafas terengah (dia tadi berlari ke kamar mandi anak laki-laki).
Semua pasti terkejut mendengarnya. Kamar mandi anak perempuan? Ihh, malu lah!
“Emang ada apa?” Ikrimah bertanya penuh penasaran.
“Ada perkelahian!” jawab Amaroh sambil menarik tangan Omar.
Amaroh dan Omar sudah pergi menjauh.
“Apa katanya tadi?” tanya Thalhah sembari menatap tubuh Amaroh dan Omar dari kejauhan.
“Ada perkelahian!” jawab Ikrimah sembari memandang kiri kanannya.
“Loh! Terus ngapain kita nggak kesana?” tanya Asad menatap wajah Ikrimah bingung.
“Aku pun juga bingung. Kenapa kita nggak bergerak,” jawab Ikrimah sembari menggamit tangan Asad.
“Kalau begitu ayo kesana, sekarang!” ajak Yazid, dia langsung pergi saja.
Yang lain reflek menyusul.
~~~
Di kamar mandi anak perempuan sedang terjadi perkelahian hebat antara Nazira dan Syifa. Omar berusaha menenangkan mereka berdua.
“Rupanya ada pemberontak,” bisik Harun, yang dimaksudnya pemberontak adalah Syifa.
“Ini kalau bukan Nazira yang berkelahi, pasti menyelesaikannya mudah,” kata Ikrimah.
“Giliran kamu, Asad,” kata Omar letoy.
“Hah? Aku? Aku mana bisa!” kata Asad histeris.
“Singa aja kamu hadapi. Induknya lagi,” kata Aulia sembari berkacak pinggang.
“Ya, udah deh..!” kata Asad mengalah.
“Eh yang suruh kalian datang kesini siapa?” tanya Laila bingung.
“Bukannya Amaroh yang suruh.” Anak laki-laki semuanya serempak menunjuk ke arah Amaroh.
Laila menatap Amaroh dengan wajah datar.
“Hehehe…” Hanya begitu ucapan Amaroh, dia merasa tak bersalah.
“Ini sebenarnya masalahnya apa sih?” tanya Asad.
“Syifa melempar kaos kaki Nazira ke kloset,” jawab Laila singkat.
“Bah, pantas Nazira semarah itu,” kata Yazid terkejut.
“Oke, aku akan mendamaikan mereka,” kata Asad dengan pede.
Semua mengangguk senang.
“Dengan syarat!” lanjut Asad, kali ini perkataannya kurang menyenangkan.
“Syarat? Syarat apa?” tanya Ikrimah pada Asad.
“Jangan ada yang ikut campur,” jawab Asad.
Semua mengangguk setuju.
“Hei!!” Teriak Asad sekencang-kencangnya. Wajah humornya bertukar menjadi wajah bengis.
Semua terdiam mematung.
“Nazira!! Keperluan mu apa?” tanya Asad galak.
“Aku mau kaos kaki ku kembali,” jawab Nazira tertunduk, dia tiba-tiba melunak. Entah karena teriakan Asad atau karena melihat wajah bengis Asad.
“Jadi sampai sekarang kaos kaki mu belum diambil?” tanya Asad, dia makin galak saja.
Nazira mengangguk. Dia perlu banyak tenaga untuk membalas teriakan Asad.
“Kalau kaos kaki mu kembali kamu nggak akan berkelahi lagi kan?” tanya Asad lagi, pertanyaanya disambut dengan anggukan lagi.
“Syifa!” Asad memanggil Syifa dengan suara yang lebih galak.
Syifa jadi salah tingkah karena dipanggil begitu.
“Ambil kembali kaos kaki Nazira! SEEKAARANG!!” Asad menyuruh Syifa begitu galak.
Syifa hanya menuruti saja. Padahal dia orangnya begitu penjijik. Ih… entah apalah nanti kata temannya. Tapi mau bagaimana lagi. Wajah bengis Asad ada di depannya.
Ternyata benar. Setelah kaos kakinya kembali Nazira tak berkelahi lagi. Hanya saja dia jijik melihat kaos kakinya dari kloset. Jadi Syifa terpaksa mencuci kaos kaki Nazira.
Hari ini berakhir sudah drama pagi Nazira dan Syifa. Tiap pagi selalu saja ada drama antara Nazira dan Syifa. Meski itu tak terlalu lama. Mungkin hari ini adalah drama spesial.
~~~
Pagi setelah makan. Badan mereka kembali kuat. Asad mendapat jempolan dari kapten Zoo karena sudah mendamaikan Nazira dan Syifa, bangga sekali Asad atas jempolan itu. Nazira dan Syifa di nasehati panjang lebar, mereka sudah kapok di teriaki Asad dan kini mereka kapok lagi karena di nasehati Kapten Zoo. Iba sekali melihat mereka tertunduk dalam-dalam (Tapi kan mereka memang bersalah, jadi lebih baik dinasehati seperti itu agar mereka jera).
Tapi, setelah itu ada acara yang begitu menarik di hari kamis ini. Apa itu…? Olahraga!! Yeay… petualang sangat bahagia hari ini. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Tergantung dengan kegemaran mereka.
“Olahraga kita ada lima ya…” Kapten Zoo memulai.
“Berpanah!” seru Kapten Zoo, matanya tak bergerak dari memandang selembar kertas.
“Eyak..!” Olahraga itu langsung disambut suara yang bergemuruh.
“Berkuda!” lanjut Kapten Zoo.
“Wih, mantap kali ya… Di mana lah kita dapatkan kudanya, tuh?” tanya Yazid, suarannya jelas mau mencari masalah lagi.
“Syuut…, kamu diem ngapa?” tanya Syafiq, tapi berbisik.
“Kalau diam, itu namanya nggak pandai hidup. Lagian aku kan punya mulut,” jawab Yazid ngikik.
“Nggak lucu! TJPM!” hardik Syafiq, mulutnya monyong.
“Eh, itu panggilan keren buatku sepertinya. Apa tuh artinya?” tanya Yazid begitu penasaran, dia bergeser sedikit ke arah Syafiq.
“Tukang Jahil Pencari Masalah,” jawab Syafiq sedikit berbisik, dia tertawa kecil (Dia adalah orang yang paling sulit dibuat ketawa oleh Yazid, hanya Asad yang bisa membuat Syafiq tertawa terbahak-bahak).
Jangan ditanya lagi bagaimana wajah Yazid dan bagaimana responnya. Dia mengomel panjang tak karuan pada Syafiq. Syafiq cuman senyum saja, yang penting aku puas.
“Jogging,” lanjut Kapten Zoo, kini sang kapten memandang wajah petualang satu persatu.
“Jogging joget… macam orang bodoh!” Anak laki-laki serempak sekali mengatakan hal itu. Kapten tertawa sedangkan anak perempuan begitu jengkel.
“Oi, Thoriq! Jogging itu buat diet. Kau tuh gendut, kuruskan badan dikit lah.” Pandai benar Aulia membalas serangan yang memalukan itu.
“Eh, aku ini kan berisi. Nggak kurus macam lidi, nggak gendut macam roti,” kata Thoriq mengembalikan serangan.
“Bersepeda,” lanjut Kapten Zoo. Semua pandangan kembali kepada sang kapten.
“Yang terakhir Gym.” Kapten Zoo menyebutkan olahraga yang terakhir.
Olahraga kali ini membuat seluruh anak laki-laki mengacungkan jempol. Jika anak perempuan menyukai Jogging, maka anak laki-laki menyukai Gym.
“Mantap. Buat kita guys…!” kata Asad membentangkan tangannya.
“Yeah…!” seru Ikrimah semangat.
“Kita tos dulu, Ikrimah…!” Asad menjulurkan telapak tangannya kepada Ikrimah. Mereka pun saling tos.
“Ayo kita bagi olahraganya.” Kata Kapten Zoo. Semua berbaris rapi lagi.
“Siapa yang mau menjadi kapten Pemanah?” tanya Kapten Zoo, kini kertasnya ada di tangan Letnan Hasan.
“Saya,” jawab Ikrimah sembari mengangkat tangan. Loh kenapa hanya dia yang menjadi pemanah?
“Kenapa kamu mau menjadi pemanah?” tanya Kapten Zoo.
“Karena memanah itu adalah sunnah Rasulullah.” Ikrimah menjawab singkat. Tumben banget dia kali ini tak memberikan dalil-dalil panjang.
“Tulis, San,” perintah Kapten Zoo kepada Letnan Hasan. Letnan Hasan segera menulisnya.
“Yang Berkuda?” tanya Kapten Zoo lagi.
Tiga orang yang menunjuk tangan. Asad, Omar, dan Nazira. Hah? Nazira?. Pasti seperti itu pikir petualang.
“Bagak sekali kamu Naz!” puji Khansa terkagum-kagum. Nazira hanya tersenyum-senyum.
“Kamu emang sudah pandai berkuda?” tanya Asad, dia masih belum percaya Nazira bisa berkuda.
“Hahaha! Kamu kira aku kaleng. Jumping pun aku bisa, mengendalikan dia agar menendang kepala orang pun aku juga bisa,” jawab Nazira sembari tertawa. Semua orang menggeleng kagum.
“Kalau kudanya galak gimana?” tanya Yazid mencari masalah. Tuh, kan. Setiap waktu ada aja yang mau dipermasalahkan oleh TJPM ini.
“Ada aja caranya untuk mengendalikan kuda galak,” jawab Nazira mengusap wajahnya yang sudah berkeringat.
“Apa?” tanya Yazid ingin tahu. Gini, nih Yazid. Masalah bakal nggak selesai sampai satu jam.
“Kepo…!” jawab Nazira sembari tertawa. Yazid hanya memiringkan mulutnya.
“Yang Jog…”
“Joget…!” Anak Laki-laki memotong pembicaraan. Mereka tertawa bersama.
“Jogging!” Kapten meninggikan nada suara.
Anak perempuan menatap anak laki-laki jengkel, tawa mereka masih belum berhenti. Uh… menyebalkan sekali.
Hampir semua anak perempuan yang menunjuk tangan untuk ikut dalam kelompok jogging. Sepertinya mereka semua merasa gendut… hahaha…^~^. Kertas putih kembali dicoret tinta. Letnan Hasan cepat sekali menulisnya, dia hanya butuh waktu delapan sampai sepuluh detik untuk menulis enam nama. Tangannya bahkan lebih cepat dibanding si komputer (Pantas sang kapten selalu membanggakan Letnan Hasan).
“Yang bersepeda?” Pendataan dilanjutkan kembali.
Lima orang yang angkat tangan. Aulia, Syifa, Khansa, Thariq, dan Syafiq. Lagi-lagi dengan sigap dan cepat letnan Hasan menulis nama. Siapa lah yang bisa mengalahkannya?
“Oi, Thariq ngapa kau mau bersepeda sama anak-anak cerewet itu?” tanya Yazid, dia jelas tidak serius, hanya mau mencari masalah.
“Dari pada aku diet lewat jalur joget, mending lewat jalur motor,” jawab Thoriq dengan wajah sebal. Kenapa Yazid menanyakan hal itu padanya? Itukan bisa membuatnya malu. Hiks….
“Haha…! ternyata benar, kamu emang gendut,” kata Yazid lalu tertawa terbahak-bahak. Tuh kan Yazid nggak pernah puas mengganggu orang.
“Mending kamu tanya ke Syafiq, kenapa dia yang kurus mau naik sepeda?” usul Thariq. Wajah Syafiq berkeringat, wajahnya lebih takut dari Thariq. Olokannya pasti lebih besar!
“Oiya! Kenapa, Fiq?” tanya Yazid memalingkan wajah ke arah Syafiq. Kali ini dia akan membuat masalah lagi dengan Syafiq.
Iba sekali melihat Syafiq yang tertunduk malu, bahkan Yazid pun sampai iba.
“Aku tidak akan telap mengangkat beban.” Suara Syafiq serak. Suara seraknya itu seakan-akan ajaib! Yazid hanya diam, dia tidak tega menyakiti hati Syafiq lagi. Tapi, bukannya dia yang berhasil berburu rusa?
“Siapa yang mau Gym?” Pendataan berlanjut kembali.
Sisah anak laki-laki mengangkat tangan. Kertas kembali dicoret.
“Oke, Ikrimah, ambil panah di ruang olahraga. Juga manset, ya… bilang saja ke Letnan Dani. Untuk sepatu pakai sepatu kamu saja,” kata kapten, Ikrimah hanya mengangguk.
“Untuk yang berkuda segera pergi ke belakang gedung papan ini. Di sana ada kandang kuda. Bilang saja sama Letnan Faiz kalau kalian masuk kelompok penunggang kuda,” perintah kapten, Nazira, Asad, dan Omar segera pergi.
“Ternyata di sana kandang kuda itu!” Yazid berkata dalam hati.
“Yang Jogging pergi ke ruang olahraga, minta baju untuk jogging juga sepatunya,” kata kapten Zoo lagi.
“Kalau pakai sepatu ini kapten?” tanya Ana sembari melihat sepatunya yang sudah dibersihkan dengan susah payah.
“Kalau pakai sepatu biasa nanti robek, nggak tahan,” jawab kapten.
Ana hanya mengangguk. Dia lebih sayang pada sepatunya.
Anak perempuan yang jogging pun pergi mengikuti jejak Ikrimah.
“Yang bersepeda, ambil sepedanya dekat aula di samping dapur. Di sana ada Jenderal Juwi yang menjaga,” kata kapten sembari menunjuk ke aula.
Pemain sepeda pun pergi. Kini tinggal yang masuk kelompok Gym.
“Kalian yang kelompok Gym, pergi ke ruang olahraga. Minta barbel disana. Sekolah petualang baru punya barbel,” kata kapten.
Mereka pun pergi ke ruang olahraga.
Ikrimah ke sebuah pohon. Di pohon itulah papan target digantung. Jarang sekali orang bisa menembak dengan cara seperti itu. kelompok jogging segera berlari kecil, jogging tanpa musik. Tapi mereka membawa penghitung langkah. Anak laki-laki kelompok Gym memamerkan kekuatan otot mereka. Tapi awal-awalnya mereka membuat lelucon. Yang bersepeda mendayung sepeda dengan kencang. Mereka seakan-akan sedang berlomba.
“Ehehek…” Suara itu memberhentikan aktivitas.
Tap, tap, tap. Bunyi sepatu kuda. Lihatlah Asad pertama kali memperlihatkan kudanya. Dia tampak tangguh sekali mengendalikan kuda. Lalu datang lah Omar dengan gaya bisa-bisa saja, tenang bagaikan aliran sungai. Setelah itu datanglah Nazira, gayanya seperti akan pergi berperang, pecutnya yang melayang di awang-awang membuat ngeri setiap mata memandang.
“Ummu Jahalah!” Yazid berkata pelan.
“Hus!” Syafiq menyenggol lengan Yazid.
Pluurrrt… Kapten Zoo meniup peluit.
“Ayo! Dimulai!!” Kapten Zoo mengepalkan tangan ke udara.
Mereka semua pun segera memulai olahraga. Laila segera memulai joggingnya. Berlari kecil mengitari lapangan. Yang bersepeda segera mengkayuh sepeda mereka, mereka malah balapan sepeda. Nazira, Omar, dan Asad mengelilingi lapangan berkuda, kuda mereka berlari kecil.
“Oi! Masa cuman gitu? Cemen kalian!!” teriak Yazid berusaha mencari masalah lagi.
“Katanya hebat…!” lanjutnya tak puas dengan perkataan yang pertama.
“Sabar dulu, dong…! Pemanasan!” Asad berusaha sabar.
“Nanti kalau sudah selesai pemanasan, akan aku suruh kuda ini gigit kamu,” kata Nazira ngikik.
“Nggak iya,” kata Yazid sebal.
Nazira tertawa, dia menjalankan kudanya lagi.
“Masuk, woi! Masuk!!” seru Syafiq girang.
“Masuk? Masuk apa?” tanya Yazid masuk ke dalam barisan teman-temannya.
“Kepo!” kata Amer tertawa.
Tag…!
“Masuk lagi!” teriak Syafiq lagi.
Yazid baru tahu, teman-temannya sedang melihat Ikrimah memanah. Keren juga Ikrimah memanah. Sekali lagi Ikrimah membidik anak panah, anak panah itu tepat mengenai titik hitam kecil yang berada di tengah papan panah.
“Kerren buangeet…!” Humairoh menghentikan joggingnya, melihat Ikrimah yang memanah dari kejauhan.
“Keren apanya?” tanya Ana dengan wajah datar.
“Ih… Humairoh salfok!!” kata Laila tertawa.
“Woi! Apanya yang keren?” tanya Ana lagi pada Humairoh.
“Papan panah sama busurnya, keren…! keren banget!” jawab Humairoh serius sekali.
Semua tertawa, Ana malah sampai terduduk di tanah.
“Ku kira, yang keren itu Ikrimah,” kata Ana setelah tawanya reda.
Mata Humairoh menatap Ikrimah serius, dia menyipitkan mata. “Nggak lah, nggak keren.” Humairoh berkata cepat.
“Emang menurut versimu, keren itu gimana?” tanya Amaroh menatap Humairoh.
“Seperti Boboiboy, Kapten Zak, Kapten Kaizo, Ejen Ali, Ejen Alicia, Ejen-” Perkataan Humairoh terputus.
“Dasar penggemar kartun! Udah, udah! Bosen dengernya…!” kata Ana mengerutkan dahi. Humairoh ngikik.
“Kalau dunia nyata, keren itu bagimu seperti apa?” tanya Laila kepada Humairoh.
“Emm….” Humairoh memikir, dia mengusap-ngusap dagunya.
“Setidaknya seperti Kapten Zoo dan Omar, T.O.P…!” lanjut Humairoh sembari mengacungkan jempol.
“Apanya yang keren?” tanya Haura heran melihat tingkah Humairoh.
“Jaketnya, mirip Sasuke.” Humairoh menjawab dengan riang.
“Tuh… kan! Kartun lagi…!” seru Ana menunjuk Humairoh tajam.
“Emang nggak boleh?” tanya Humairoh sembari menatap tajam ke arah Ana.
“Nggak, ntar nanti kamu jadi kartun.” Ana menjawab enteng.
“Kalau aku boleh-boleh aja, lagian aku suka jadi kartun,” kata Humairoh tersenyum kecil.
“Mana enak jadi kartun, ditonton terus,” bantah Ana.
“Enak…!” teriak Humairoh.
“Iya lah, tuh…?” tanya Ana tak percaya.
“Iya…!” jawab Humairoh dengan berteriak.
“Rasa apa?” tanya Ana lagi.
“Rasa… rasa-rasa,” jawab Humairoh.
“Iya, rasa apa?” tanya Ana lagi.
“Rasa-rasa…!” jawab Humairoh lagi.
“IYA, RASA APA?” tanya Ana berteriak.
“SEMUA RASA!!” Humairoh balas berteriak.
Sliiit… trag…!
“BIRA!!!!”
Semua terkejut, siapa yang berteriak? Kali ini yang berteriak bukan Ana atau pun Humairoh. Anak laki-laki yang tadi bersorak-sorak menonton Ikrimah terdiam, diam seribu bahasa. Bukan hanya karena teriakan tadi, tapi karena melihat darah di ujung anak panah. Seekor burung Beo biru tergeletak di tanah, menghembuskan nafas terakhirnya. Ternyata yang tadi berteriak itu adalah Laila.
Laila segera berlari ke arah burung Beo itu, disusul teman-temannya yang lain. Kapten Zoo yang mendengar teriakan Laila tadi segera keluar dari kantornya, ada apa?
Laila segera mendekap burung Beo biru yang tak memiliki nyawa itu lagi. Laila menangis, sekarang dia kehilangan Bira.
“Bira…” Air mata laila terus mengalir.
“Maafkan aku, aku tak sengaja,” Ikrimah mencoba meminta maaf.
“Ikrimah, kamu apakan Si Bira?” tanya Asad menjawil lengan Ikrimah.
“Tadi tiba-tiba saja ada burung itu di depan papan panah, kebetulan saat itu aku lagi meluncurkan anak panah, akhirnya salah sasaran,” jawab Ikrimah.
“Ada apa?” tanya kapten masuk ke dalam perkumpulan anak-anak.
“Bira mati kapten,” jawab Haura.
Kapten Zoo menatap Laila yang memegang Bira, tangannya berlumuran darah.
“Laila… mungkin sudah takdirnya, Bira mati sekarang, setiap makhluk di bumi ini kan, bakal merasakan mati.” Kapten Zoo menghibur Laila.
“Dari pada nanti jadi bangkai busuk, mending dikuburin sekarang, ya?” lanjut Kapten Zoo.
Laila mengangguk saja, sebenarnya dia masih sedih, dan ingin bersama Bira terus. Tapi benar kata kapten, jika tidak segera dikuburkan, maka bangkai Bira akan membusuk.
Mereka pun menggali lobang, lalu menguburi bangkai Bira. Laila menatap kuburan itu sedih, sekarang dia tak punya teman.
“Sudah, Lai… jangan sedih, kamu nanti kan bisa cari burung baru.” Haura menghibur, dia mengusap punggung Laila.
Mereka pun segera bubar, termasuk Laila.
“Bira… kenapa kau pergi…?” tanya Laila lirih.
“Aku di sini… aku di sini…!” Tiba-tiba ada suara yang mirip seperti Bira. Asal suara itu dari atas.
Semua mendongakkan kepala. Terkejut melihat seekor burung Beo biru yang terbang di atas kepala Laila dengan bebas.
“Bi… bi… Bira…!” Laila kaget bukan main.
“Oi? Mataku nggak salah lihat kan?” tanya Yazid mengucek-ngucek matanya.
“Apa ini mimpi?” tanya Asad ternganga.
“Sini, coba aku cubit,” kata Omar segera mencubit Asad.
“Auu…!” seru Asad.
Bira segera bertengger di pundak Laila. Laila langsung mengambil Bira dari pundaknya.
“Aku ingat, Bira sejak lahir di dadanya ada bercak warna putih, akan aku cek sekarang,” kata Laila segera memeriksa dada Bira.
“Ini Bira yang asli…!” seru Laila segera mengangkat Bira tinggi-tinggi.
Semua tersenyum lebar, senang.
“Aku sudah yakin tadi itu bukan Bira yang asli, nggak mungkin Bira bodoh, bunuh diri sendiri,” kata Ikrimah.
“Loh, otak burung itu bukan otak manusia…!” kata Amaroh.
“Sudah deh, cukup dramanya, lebih baik dimakan tadi burungnya!” kata yazid segera mengambil barbel.
Mereka pun melanjutkan olahraga lagi dengan ceria.